Resensi Buku : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (Salim A Fillah) - Sang Pengejar Angin

Breaking

Wednesday, May 13, 2020

Resensi Buku : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (Salim A Fillah)

           

              Theard kali ini akan membahas novel berjudul Sang Pangeran dan Jannisary Terakhir karangan Salim A Fillah. Dalam masa karantina ini, novel sejarah dari Ustadz Salim cukup membantu menghilangkan kebosanan akibat tidak bisa berakitivitas ke luar rumah.. Berisi cerita perjuangan Pangeran Diponegoro selama perang dari 1825-1830. Perang selama lima tahun ini, tidak hanya berdampak kepada pemerintah Belanda, tapi juga menjadi tonggak awal perjuangan bangsa hingga kemerdekaan.

           Hal yang menarik dari novel ini sendiri adalah alur nya yang maju mundur, menceritakan babak-babak awal pertempuran, alasan pertempuran dan tujuan dari pertempuran ini sendiri. Selain itu, dalam novel ini juga menjelaskan peran-peran tokoh bukan hanya dari sisi masyarakat asli (pribumi) namun para jannisary (pasukan khalifah ustmani) yang ternyata membawa misi "titipan" untuk memerdekakan Nusantara saat itu. Diceritakan secara novel, kisah sejarah ini patut menjadi salah satu koleksi kalian, yuk kita resensi Novel ini.

         
Sang Pangeran dan Jannisary Terakhir    

                                             




              Kisah ini bermula dari Sang Pangeran (Pangeran Diponegoro) membuka gulungan surat dari Sultan Abdul Hamid I dari Daulah Ustamniyah. Pada surat yang sudah terjemahkan dalam bahasa Jawa dalam aksara Arab Pegon, salah seorang ulama besar berharap Nusantara saat itu menjadi salah satu pewaris dari kekhilafaan dunia, seperti pendahulu-pendahulunya. Karena itulah sang Ulama sering memberikan risalah penyemangat jihad kepada raja-raja nusantara untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

            "Sungguh aku berharap agar yang dimaksud oleh Rasullulah itu adalah kalian, wahai bangsa Muslim Nusantara. Hari ini, tugas besar kalian adalah menggenapi syarat-syatarnya agar layak ditunjuk Allah memimpin peradaban Islam. Hidupkanlah Jihad. Tegakkan syari'at. Satukanlah umat." 


           Empat tokoh Jannisary yang datang ke Jawa, Nurkandam Pasha, Khatib Pasha, Murad Orhan Agha menjadi pilar penting pasukan Sang Pangeran selama lima tahun itu. Mewarisi semangat untuk melaksanakan jihad, keempat orang ini terus bertempur walau tidak untuk tanah airnya. Hal ini seperti ditekankan oleh sang penulisa bahwa, persaudaran antar Muslim tidak hanya terikat dari tanah kelahiran tapi juga dari iman.

         Pada sisi lain, kekhalifaan Ustamniyah sendiri sedang berada dalam titik senja, pergantian elite kepemimpinan yang tidak stabil, pemberontakan-pemberontakan yang mulai marak, banyaknya korupsi yang makin lazim dilakukan. Membuat kerajaan yang dibangun oleh Sultan Muhammad Al-Fatih ini sedikit demi sedikit menuju kehancuran.

          Berjarak beratus-ratus kilometer, perang Diponegoro pun sudah menuju puncaknya, perang yang melibatkan berbagai lapisan baik dari masyarakat jelata, santri/kaum agamawan hingga para priyayi ini mulai menentukan titik akhirnya. Selama lima tahun perang ini benar-benar merepotkan pemerintah kolonial Belanda, bahkan kas kerajaan disebut telah habis untuk membiayai perang Jawa ini.

         Tapi, seperti Matahari yang bermula terbit hingga berujung terbenam, perang Jawa ini pun berakhir tidak baik untuk pasukan Pangeran, bermula kekalahan di Siluk, penangkapan Kyai Mojo, menyerahnya Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasyah Sentot Prawirodirjo kepada Belanda. Akhirnya dengan siasat licik, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Sang Pangeran pun bersedia menyerahkan diri dengan syarat anggota laskarnya dilepaskan. Akhirnya, Sang Pangeran pun ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

          Cerita novel yang maju-mundur memang membuat para pembaca akan bingung pada awalnya, apalagi bila tidak terbiasa membaca sejarah. Namun, keunggulan dari buku ini anda akan menemukan bagaimana bermulanya kisah perang Jawa. Penulis seperti ingin membangun karakter bukan hanya dari sosoknya tapi dari setiap peristiwa yang terjadi. Seperti tokoh Patih Danurejo IV (III) yang sebenarnya adalah kawan akrab dari Pangeran Dipenogoro.

         Mantan bupati Jopon (Majokerto) ini diangkat atas permintaan Diponegoro karena melihat prestasinya selama menjabat. Tapi setelah lama diangkat menjadi Patih, Danurejo IV malah menggunakan kekuasaanya untuk kepentingan pribadinya. Prilaku seperti korupsi, memeras rakyat dengan pajak yang tinggi hingga bermain perempuan menjadi buah bibir yang merusak tatanan keraton Yogyakarta.

         Hal inilah yang mengusik Pangeran Diponegoro hingga akhirnya menegur hingga memukul kawan kecilnya ini. Kejadian inilah (konon) yang membuat Danurejo IV bersumpah akan menghancurkan Diponegoro. Karena itu dirinya bersama Kepala Pasukan Keamanan, Tumenggung Wironegoro, mereka pun bergabung dengan pasukan Belanda.

        Kasus Danurejo IV ini sendiri merupakan bagian dari alasan Pangeran Diponegoro untuk mengangkat senjata melakukan jihad melawan Belanda. Sang pangeran sendiri melihat suasana Keraton Yogyakarta sudah kehilangan nilai-nilai Islam. Padahal sejak awal, Sultan Hamengkubuwono 1 membangun keraton dengan simbol-simbol Islam. Merosotnya moral para pejabat keraton ini salah satunya akibat pengaruh pejabat kolonial Belanda.

         Karena itulah, Sang Pangeran pun memiliki misi jihad untuk membersihkan kerusakan moral di tanah Mataram (Surakarta-Yogyakarta). Karena itu dirinya memiliki misi untuk menyatukan kedua keraton,  meruntuhkan kedua keraton, membangunnya kembali dan menjadi Khalifah di tanah Jawa. Hal inilah yang membuat para santri yang dipimpin oleh Kyai Mojo ikut bergabung dalam pasukan Sang Pangeran.

        Bergabungnya para santri ini menjadi tanda "rujuknya" golongan Islam dengan Priyai yang pernah ternoda saat pemerintahan Amangkurat saat zaman Mataram Islam. Selain itu sosok Sang Pangeran yang pernah menyenyam pendidikan di pesantren, membuat Diponegoro bukan hanya terlihat seperti seorang raja Jawa, tapi juga seorang yang memiliki pengetahuan agama yang sangat luas. Sosok Diponegoro pun bisa disesajarkan dengan dua tokoh besar Raja dari klan Mataram, yaitu Sultan Agung dan Sultan Hamengkubuwono 1.

            "Telah lama Bumi Jawa menantikan seorang sepertimu. Seorang yang memili nasab mulia sebagai Kesatria Mataram sejati. Seorang pangeran yang bergaul akrab dengan kaum santri dan wong cilik sejak belia. Seorang yang rela meninggalkan kemewahan istana dan hidup prihatin berkelana. Seorang yang diasuh wanita shalilah bagi mujahidah seperti Eyang Ratu Ageng di Tegalrejo. Seorang yang kelahirannya membuat Kangjeng Sultan Mujahid Hamengkubuwono 1 berkata,"mbok Ratu, cicitmu ini yang kelak akan memberi kerusakan kepada Belanda lebih besar daripada yang kulakukan selama 9 tahun dalam perang Giyanti! Kini, saat itu telah tiba, gusti kuatkanlah hati (Dialog Kyai Mojo dengan Pangeran Diponegoro, hlm 288)

        Selain santri, para rakyat jelata pun turut membantu perjuangan Sang Pangeran selama lima tahun tersebut. Selama pasukan Sang Pangeran melakukan gerilya dan bersembunyi, rakyat kecil turut membantu dengan menyediakan tempat perlindungan. Mereka pun tetap tutup mulut walau pasukan kolonial memaksa mereka dengan kekerasan bahkan ancaman pembunuhan. Solidnya dukungan rakyat disebut menjadi kekuatan tersendiri bagi pasukan Sang Pangeran dalam perang Jawa ini.

        Dukungan rakyat ini sendiri terjadi akibat penindasan yang dilakukan pihak kolonial Belanda juga pihak keraton yang memungut pajak tinggi. Kemiskinan yang tidak ditangani dengan serius akibat korupsi dalam keraton. Juga, munculnya pandemi malaria yang menyerang rakyat, membuat berkibarnya bendera perang dari Pangeran Diponegoro disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat.

         Selain itu ada juga bantuan dari Kesultanan Turki Ustamani yang kerap disebut pasukan Janisary. Pangeran Dipengoro memang sangat mengagumi legiun pasukan yang didirikan oleh Sultan pertama Tukri Ustamani tersebut. Hal ini terlihat dari nama-nama legiun pasukan yang membantunya melawan pasukan kolonial Belanda. Seperti panglima pasukan nya yang diberi jabatan Alibasah atau Pasha, nama-nama yang akrab dengan negara Turki.

          Sosok-sosok dari Turki Ustamani inilah yang nantinya kerab pembaca jumpai dalam novel Salim A Fillah ini. Penulis mungkin ingin menjelaskan bagaimana hubungan antara perang Tanah Jawa dengan Kekhalifaan Turki Ustmani. Namun, hal ini bagi saya cukup menyayangkan karena nantinya tokoh-tokoh ini mengambil lebih banyak porsi dalam novel dibanding nama-nama seperti Sentot Prawiroderjo ataupun Kyai Mojo. Mungkin hal ini terjadi karena sang penulis membangun cerita dari masa-masa pasukan Pangeran Diponegoro telah terpencar-pencar, ada yang sudah tertangkap ataupun menyerah kepada musuh.

          Terpencar-pencarnya pasukan Sang Pangeran, berasal dari strategi benteng yang membuat moblitas pasukan Sang Pangeran terhimpit. Selain itu perang lima tahun ternyata begitu melelahkan bagi masyarakat kecil, banyak ladang pertanian yang rusak, jalur logistik yang terganggu hal ini menimbulkan kemiskinan yang cukup berpengaruh kepada semangat para pejuang. Hal ini juga ternyata dimamfaatkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memberikan upeti kepada masyarakat. Cara ini sebagai upaya untuk merebut hati masyarakat yang tadinya setia membela perang Jawa.

           Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sendiri menilai cara kekerasan kepada rakyat malah membangkitkan perlawanan lebih keras. Baik upaya benteng stesil dan pendekatan ini ternyata cukup efektif meredakan perlawanan masyarakat kecil. Selain itu, upaya mendekati para priyayi yang awalnya mendukung Sang Pangeran pun berhasil dengan positif. Setelah dua tokoh penting Sentot Prawidirijo dan Pangeran Mangkubumi akhirnya memutuskan melakukan gencetan senjata dengan Pemerintah Kolonial Belanda.

           Bagi Sang Pangeran, yang dikenal sangat religius dan menyakini pembacaan-pembacaan atas pertanda. Sebelum perang Jawa berlangsung, Diponegoro mengutus Kyai Joyosutopo untuk menemukan pertanda seperti Kembang Wijoyokusumo yang melambangkan mahkota Jawa. Joyosutopo tidak mendapatkannya, justru yang diperolehnya adalah pertanda kehancuran Mataram : Angin merobek kelambu Pekuburan Wali Prakosa (Carey ; 2017 : 47-48).

           Namun walau Pangeran Diponegoro tahu bahwa dirinya akan dikalahkan, ia memahami bahwa kekalahanya adalah penting untuk kemenangan pada akhirnya. Pater Carey menggambarkan :

           "Tetapi pasti Diponegoro menyadari sepenuhnya. Bahwa dia bukanlah yang akan menjadi pemimpin yang mengusir Belanda dari Jawa. Sebaliknya, sang Pangeran hanya akan menjadi penyebab timbulnya perang suci ini akan berlangsung untuk jangka waktu singkat saja, tapi akan menjadi pendahulu zaman pemerintah yang adil... "(Carey, 2017 : 36)

           Semangat jihad yang masih membara dalam hati para pejuang Diponegoro sendiri terlihat dari kebiasaan menanam pohon sawo berjajar-jajar di halaman rumah. Hal ini sebagai lambang yang sama untuk selalu meluruskan shaff. Pohon sawo. sawo, sawwu shufuuakum. Sehingga generasi ke generasi anak turun, para pejuang masih akan saling mengenali, sepakat dalam sunyi, berjihad tanpa henti.

          "Sudah menjadi kehendak yang maha kuasa, Tanah Jawa telah ditakdirkan oleh sang pencipta, kamulah yang kan menjalani peran utama" (Babad Diponegoro)


           Selain kisah Sang Pangeran, penulis pun memasukan cerita para jannisary yang turut bahu-membahu dalam perang Jawa ini. Kisah para Jannisary ini memperlihatkan kita bagaimana rasa cinta, kesetiakawanan dan perjuangan dalam membela agama Allah terus tetap hidup. Hal ini bisa terlihat bagaimana sosok Nurkandam dan adiknya Nuryasmin yang harus terusir dari Istana Kekhalifan Ustmani akibat intrik politik. Para pengawal setinya seperti, Khatib Pasha, Murad Orhan Agha pun mengambil peran penting selain menjaga tapi juga membantu perjuangan pasukan Pangeran Diponegoro.

        Gabungan antara kisah perjuangan jihad dengan kehidupan antar manusia dalam novel ini pun membuatnya lebih menarik, Disini kita bisa melihat bagaimana teguhnya perjuangan Sang Pangeran yang tidak ingin menyerah walau sudah terdesak, tapi juga menyadari banyaknya kekhilafan dirinya yang berakibat kekalahan. Juga perjuangan Nurkandam untuk mempercayai sahabatnya akibat informasi yang tidak jelas semasa perang. Disini juga terlihat bagaimana pengorbanan cinta yang begitu besar, dari seorang Fatma, saat melihat orang yang dicintainya telah memiliki pasanga lain yang notabene adalah sahabatnya juga.

        Hal ini memang menjadi kelebihan dari novel Ustadz Salim, juga munculnya para punokawan yang selalu berada disamping Sang Pangeran, membuat pembaca tidak akan bosan membaca hingga akhir. Juga bagaimana Ustadz Salim menekankan tentang dakwah Islam yang tidak hanya dari lisan tapi juga melalui simbol-simbol. Kita akan mengetahui makna-makna dari pembangunan Masjid Gede, juga makanan nasi uduk yang ternyata digemari oleh Sultan Agung.


          Namun seperti yang sudah disebut tadi, terlalu dominannya kisah para Jannisary memang membuat para tokoh-tokoh yang berperan dalam perang Jawa cukup minor. Walau jelas saya mengerti karena Ustadz Salim memang ingin menjelaskan hubungan antara pasukan tanah Jawa dengan Kekhalifan Ustamani. Tentunya patut ditunggu, bila nanti ustadz Salim merilis sekuel dari Sang Pangeran ini, bisa jadi lebih menjelaskan peran-peran dari para kyai dan bangsawan Jawa saat perang tersebut.

                 Tentunya satu novel tidaklah bisa atau kurang lengkap untuk menjelaskan kompleksitas dari perang Jawa ini. Teman-teman perlu membaca buku-buku seperti tulisan Peter Carey. Namun bagi saya, novel dari Ustadz Salim ini bisa membantu kita untuk membangkitkan ghirah (semangat) dalam berdakwah dan mempelajari sejarah yang mulai dilupakan oleh generasi penerus, semoga.

No comments:

Post a Comment