Bagaimana Islam Melihat Dunia? Part 2 - Sang Pengejar Angin

Breaking

Friday, August 24, 2018

Bagaimana Islam Melihat Dunia? Part 2

           

 

          Anggaplah kita pernah berpergian, naik gunung mungkin atau ke daerah-daerah terpencil. Pada saat itu kita tentunya tidak mengetahui jalan yang akan dilewati. Tentunya lain soal kalau kita mempunyai ilmu kanuragan melihat arah mata angin warisan eyang dan mbahmu. Pasti kalian setidaknya membawa sebuah alat sebagai pegangan petunjuk arah, biasanya alatnya bernama Kompas.

           Kompas inilah yang bisa saya sebut sebagai syariat bagi masyarakat Muslim, sebuah petunjuk jalan dari perjalanan nan panjang. Kompas akan menunjuki manusia disaat gamang jalan mana yang akan mereka lalui. Tentunya bagi para traveler, mereka mau tidak mau haruslah mengikuti arah Kompas tersebut. Kalau tidak, apesnya mereka akan memutar dua kali atau paling buruknya tersesat tidak bisa kembali. Bagi saya itulah guna syariat bagi masyarakat Muslim kurang lebih.

         Tapi mengapa tidak Peta yang digunakan? toh kita pun akan mahfum bahwa letak geografi bumi selalu berubah, semakin memanjang atau memendek. Apalagi bagi tukang babat alas daerah terpencil, peta tentunya semakin tidak berguna, bahkan sekaliber google map pun belum mendeteksi wilayah tersebut. Yang ada tentunya kita melakukan berbagai cara untuk bisa membaca wilayah tersebut, dengan akal ataupun alat bantu seperti kompas. Inilah yang sering digunakan oleh para ulama dan cendekiawan muslim dahulu kala dengan metode ijtihad, yang melahirkan berbagai macam rupa bentuk baik hukum, filsafat, hingga ilmu pengetahuan.

Peta yang Sudah Lapuk Di Abad Modern
 
           Pada saat mudik lalu, sehabis halal bihalal dengan keluarga besar dan menyantap sajian lebaran. Anda coba membongkar-bongkar lemari-lemari eyang dan mbahmu yang se-zaman dengan Jenderal Soedirman. Tak tau apa-apa kita pun menemukan peta yang begitu lapuk, mengambarkan wilayah Jawa dan sekitarnya. Tapi semakin kita baca-semakin puyenglah kita, bukan karena tidak mengerti perkara geografis. Namun, karena begitu banyaknya hal yang berbeda baik nama wilayah hingga rute perjalanan, apalagi setelah kita tahu kalau peta itu ternyata dibuat saat perang diponegoro.

          Masalah Teologi, Hukum sampai praktek ritual menjadi salah satu masalah umat Islam yang melanda belakangan ini. Tidak sedikit hal ini memberikan gesekan bagi internal umat Islam sendiri, baik menimbulkan pelabelan hingga saling bunuh satu sama lain. Belum lagi masalah eksternal umat Islam yang dikepung oleh kapitalisme, neo-imperialisme, bahkan zionisme. seperti kejadian yang dicontohkan di atas, apakah umat Islam masih tetap dengan total menggunakan peta yang sudah lapuk ini, walau terbentur sana-sini? atau meninggalkannya?

          Salah satu pemikir kontemporer Islam, Hasan Hanafi pernah mengungkapkan kegelisahan ini. Bagi pemikir asal Kairo ini masyarakat muslim terbagi menjadi dua saat menghadapi tantangan modernitas. Ada mereka yang masih tetap teguh memegang tradisi yang mengatakan bahwa pemikiran klasik sudah memberikan solusi, baik masa lalu, sekarang hingga masa depan, mereka pun kerap disebut kaum tradisional. Ada juga kaum modern yang menganggap “bangunan lama” sudah harus ditinggal, karena tidaklah bermakna apa-apa. Tapi Hanafi sendiri lebih memilih pendekatan ketiga, bagaimana menggabungkan antara tradisi dan perubahan, lalu mengindentifikasi sehingga menemukan hal yang relevan dengan zamanya.

           Bagi Hanafi sendiri masyarakat Muslim sedang mengalami permasalahan baik di luar dirinya (eksternal) juga dalam dirinya (internal). Mereka (baca : umat Islam) masih mengalami kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan. Lalu dari luar pun ada tiga ancaman yaitu Imperialisme, Kapitalisme, juga Zionisme. Kondisi ini haruslah ditanggapi sebagai prioritas bagi masyarakat muslim. Bila tidak tentunya arus dominan yang muncul adalah stereotip baik yang menyudutkan Islam sebagai ‘terbelakang”. Atau pembalasan berupa martir-martir yang bergeriliya di seluruh dunia?

Peta Muslim Masa Depan
 
           Seperti yang sudah saya ungkapkan dalam tulisan bagian pertama , bagaimana mayoritas muslim dibeberapa negara tidak begitu bermasalah dengan demokrasi. Tentunya hal ini bisa terjawab dengan pendekatan pemikiran Hasan Hanafi dan juga pemikir islam kontemporer lain, macam Abul A’la Al-Maududi, Ali S ataupun Sayyid Qutb. Mereka pun tidak setuju dengan pemerintah otoriter yang menggunakan selubung agama, untuk melegitimasi kekuasaan dan penderitaan terhadap rakyat. Sayangnya hingga sekarang masih begitu lazim terlihat di negara-negara mayoritas muslim.

           Hasan Hanafi sendiri memaparkan beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat muslim untuk membuat peta masa depannya. Seperti ungkapan seorang Tokoh Pemikir Islam bahwa untuk melawan modernitas tidaklah perlu menjadi barat, atau kalau ingin menunjukan keislaman tidaklah perlu menjadi Arab. Tapi Islam sendiri bisa memberikan jawaban atas solusi tersebut. seperti diungkapkan oleh Hanafi bahwa ada dua metode untuk menafsirkan khazanah Islam klasik
Cara pertama adalah dengan melakukan reformasi bahasa.

           Bahasa sendiri adalah alat untuk mengekspresikan ide-ide sehingga perlu dilakukan reformasi. Sehingga memenuhi fungsinya sebagai media ekspresi dan komunikasi. Reformasi ini dapat dilakukan secara otomatis ketika kesadaran berpaling dari bahasa lama kepada makna dasarnya, kemudian berusaha untuk mengekspresikan kembali makna dasar ini dengan menggunakan bahasa-bahasa yang sedang berkembang. Dengan demikian, makna yang dipegang adalah makna tradisi, sedang bahasanya adalah bahasa yang telah direformasi.

         Sebagai contoh tentang makna dari istilah “Islam’ yang biasanya secara umum diartikan sebuah agama tertentu. Menurut Hassan Hanafi sebaiknya istilah ini diganti dengan “pembebasan” sebagaimana disimbolkan dalam syahadat. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan-pergolakan.


      Kemudian setelah melakukan reformasi terhadap istilah Islam itu sendiri. Tentunya masyarakat Muslim membutuhkan penyegaran kembali terhadap khasanah ilmu-ilmu klasik. Seperti halnya ilmu tentang Teologi, Ushul Fiqih/hukum dan juga pokok-pokok agama islam. Salah satu yang menjadi wacana dari Hanafi sendiri adalah merubah tujuan yang dari membela keesaan Tuhan, menjadi pembebasan terhadap manusia. Apalagi dengan adanya ancaman yang sudah disebut diatas, terntunya umat Islam butuh rekontruksi agar bisa menjawab tantangan zamanya.

        Lah kok kita mau merecoki Teologi? Kafirkamu… Pasti banyak yang berpikir seperti itu. Tapi pertanyaannya apakah Teologi yang kita ketahui itu merupakan Tuhan itu sendiri? Apakah kita benar-benar mengenal tentang “Tuhan”?Ataukah itu cara para pemikir Islam masa lalu untuk mendefinisikan tentang Tuhan? Karena kalau Teologi merupakan salah satu ilmu tentunya dia akan bergerak secara dinamis, sesuai waktu, tempat dan zaman. Akhirnya setiap zaman harus merekonstruksi hal tersebut terutama masyarakat Muslim sendiri.

       Pada zamannya, ilmu Teologi mampu menjawab tantangan-tantangan yang menyerang akidah masyarakat Muslim. Tapi pada masa kini tantangan itu berubah saat masyarakat Muslim terus menerus menjadi objek serangan, dieksploitasi oleh kapitalisme dan imperialisme. Karena bila kita tidak sadar dan hanya membahas masalah bahwa bumi itu datar? berjenggot atau tidak? repot ngurusi yang produk halal? Karena kalau tidak, kita hanya mencari dan mengejar sesuatu yang tidak nyata, kayak itu tuh yang lagi hits, Khalifah *ehh Pokemon Go.

No comments:

Post a Comment