Bagaimana Islam Melihat Dunia? (Part 1) - Sang Pengejar Angin

Breaking

Friday, August 24, 2018

Bagaimana Islam Melihat Dunia? (Part 1)

          

 

             Ledakan demi ledakan terjadi, dari mulai Turki, lalu Irak, bahkan kota suci Madinah, juga menyasar ke Indonesia ujung jauh Timur Tengah. Dentuman Bom, lalu diiringi teriakan korban hingga histeris-nya keluarga melihat mayat-mayat kerabatnya,  bergelempangan tanpa daya. Udara pun penat saat manusia ber talu-talu tan, yang (ironinya) kontras, Saat Takbir bersaut-saut an, menyambut hari fitri, suara jeritan, tangisan, kutukan, pun tak pantas ditulikan, di dunia yang tidak hanya hitam-putih.

             Teror sebagai filsafatnya tidak hanya menyerang untuk bertujuan membunuh seseorang atau sesekaum. Tapi lebih dari itu, serangan teror lebih mengarah kepada mereka yang hidup. Memberikan sebuah pesan “kalau mereka ada”, dan “terus berlipat ganda”. Terlepas apapun tujuanya?
              Tapi karena dunia sudah begitu bising memang untuk dimasuki kaum-kaum teror, yang pantasnya hidup di zaman Troya. Membelah masyarakat dunia, terus membelah hingga memunculkan Islamofobia, masyarakat Islam pun terbelah pro dan kontra. Dunia pun terus bising tanpa solusi selain teror-teror dalam bentuk lain, sosial media.

              Pada moment ini kita pun mafhum belaka, bila kaum-kaum atau “karakter”, layaknya Donald Trump, ISIS, atau Ormas jadi-jadian di Indonesia, begitu laku di pasaran. Atau gaya-gaya-an Pluralisme Liberalisme yang begitu daring di media dengan kutubnya masing-masing, serta dianggap mewakili pemikiran Islam. Tapi bagaimana “Islam” itu sendiri melihat dunia? apakah “se-ekstrim” itu? atau malah demokratis? Dunia dan Islam, begitu tak akurkah?

              Ledakan bom terjadi di Baghdad (2/7/2016), bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, menewaskan 79 orang serta lebih dari 131 orang terluka. Lalu, menjelang Idul Fitri (4/7/2016), bom meledak di Madinah kota suci. Selang beberapa hari kemudian, Bangladesh (7/7/2016) mengalami hal serupa dengan korban satu orang polisi, kejadian ini menjadi rentetan teror yang melanda negara dengan hutan bakau terbesar di dunia itu. Semua pandangan pun mengarah kepada ISIS sebagai pelaku dengan tujuan sucinya, mendirikan kekhalifah-an.

             Tapi apakah itu merupakan representatif dari seluruh umat Islam? Apakah “kekhalifah-an” merupakan ujung dari “jihad suci” ini? Lalu bagaimana khalifah itu sendiri? Benarkah itu yang disebut “jihad”?

            Jawaban itu semua mungkin ada di ujung langit, berharap turun di ubun-ubun kepala saat sujud atau saat rapel zikir malam hari. Hingga akhirnya yang kita “cari” rupa-rupanya hanya gaya-gaya an ala Hollywood, karena itu yang kita tunggu hanya pandangan ekstrim dengan perwakilan ISIS dan sejenisnya, pada satu sudut. lalu satu lagi para pluralis liberalis yang terlalu tolerannya hingga mencerabut akar-akar. Bak gaya berkoboi-koboi, saling serang satu sama lain.

           Lalu apakah anak-anak korban bom Bangladesh tidak punya hak suara dengan keislamanya? Bagaimana dengan para imigran-imigran Suriah? kalau begitu, bagaimana dengan manusia perahu dari Rohingya, tidak bolehkah mereka bermimpi ke mana agamanya akan dibawa?
Saatnya Muslim Bicara
Buku Saatnya Muslim Bicara!
             Survei Gallup World Poll sepertinya membantah beberapa hal yang berkembang saat ini. menyajikan dalam sebuah buku dengan judul “Saatnya Muslim Bicara!” Gallup World pun membahas hal-hal yang biasanya begitu asing dipertanyakan di dunia muslim. Seperti sistem demokrasi, pendapat muslim tentang terorisme dan kekhalifahan, hingga masalah perempuan muslim yang begitu sensitif di dunia barat. Melibatkan hampir 1,3 Milyar muslim di seluruh dunia, walau survei ini sudah dilakukan 10 tahun lalu, bagi saya sendiri analisa ini masih cukup relevan dengan konteks umat Islam.

Memlih Gurun Pasir atau Lampu Terang Benderang?
 
              Ada banyak hal yang menjadi benturan antara dunia barat dan Islam, baik masalah sosial, ekonomi, hingga budaya. Namun salah satu yang menjadi back bone dari serangan-serangan yang terjadi belakangan ini, merupakan masalah politik. pada satu sisi barat sebagai perwakilan modernitas begitu menjunjung demokrasi sebagai falsafah hidup. Tidak segan hal ini pun dipaksakan kepada negara-negara dunia ke-tiga, baik Asia, Amerika Selatan ataupun Afrika. Salah satu yang begitu teringat dibenak umat Islam adalah peristiwa invasi Irak, Mosul, atau yang belakangan ini terjadi di Suriah.

          Tapi apakah umat Islam sendiri sangat anti kepada “demokrasi” itu sendiri? Seperti yang berhari-hari di analisiskan oleh pakar Timur Tengah barat, hingga melahirkan stereotip “Islam Radikal”.Pendapat barat perihal Islam sepertinya masih terpaku dengan beberapa pemikir seperti Francis Fukuyama, Samuel Huntington, atau Bernard Lewis. Salah satu yang pernah di ungkap Fukuyama berikut,

        “Bukan kebetulan bahwa demokrasi liberal modern muncul pertama kali pada masyarakat barat yang kristen. Karena universalisme hak-hak demokrasi dapat dilihat sebagai bentuk sekuler dari universalisme kristen…. Tetapi, tampaknya memang ada sesuatu mengenai Islam, atau setidaknya Islam Fundamentalis yang mendominasi pada tahun-tahun terakhir ini, yang membuat masyarakat Muslim sangat menentang kemodern-nan”.

          Tapi apakah masyarakat muslim begitu membenci demokrasi? Hal ini terbantahkan dalam survei, sejumlah negara mayoritas muslim seperti Indonesia (90%), Mesir (94%), Iran (93%) ternyata cukup mengagumi beberapa aspek demokrasi ala barat. Diungkapkan disitu bahwa “mereka akan memperbolehkan warga untuk mengungkapkan pendapat, mengenai permasalahan polituk, sosial, hingga ekonomi masa itu”

          Namun, kenapa sistem demokrasi begitu sulit tumbuh di negara-negara mayoritas muslim? Jawabanya ternyata bukan karena agama, tapi lebih kepada sejarah. Barat membutuhkan waktu berabad-abad untuk merubah sistem monarki mereka menjadi seperti sekarang. Sedangkan umat Islam sejak ratusan tahun dijajah oleh kolonialisme. lebih parahnya beberapa negara seperti India, Hijjaz (yg sekarang bernama Arab Saudi) dan sekitarnya, sampai Mesir. Merupakan wilayah yang kemerdekaanya diberikan oleh pihak kolonial. Sehingga kuku-kuku imprealisme pun masih tertanam kuat.

           Tentu saja selain itu proses transisi yang masih terhitung jari (puluhan tahun), pun membuat benih-benih intrik masih terdapat dalam sistem “demokrasi’ mayoritas negara-negara muslim. Tapi kita pun tidak bisa menutup mata dari sikap standar ganda barat dalam hal ini. Saat beberapa pemilu yang berhasil secara demokratis, malah “dibubarkan”. Karena tidak sesuai selera barat itu sendiri. Kejadian Hamas yang memenangi pemilu Palestina atau kejadian Mursi beberapa tahun lalu bisa menjadi contoh. Lalu toh barat tetap santai-santai saja melihat “feodalisme” masih tertanam di negara yang notabene masih sekutunya, ya seperti Arab Saudi.

           Selain itu masyarakat Muslim tidaklah mau menelan bulat-bulat sistem demokrasi barat. Mereka pun berkeinginan adanya syariat-syariat Islam yang menjadi rujukan dalam masalah hukum, ekonomi, maupun politik. Hal ini didasari bahwa dalam agama Islam tidaklah menganut paham sekuler, yang memisahkan antara negara dan agama. Tentulah banyak kontra dari keinginan masyarakat muslim tersebut, terutama dalam masalah pelaksanaan hukum.

            Walau tidak bisa dipungkiri banyaknya tafsir yang berbeda mengenai hukum terutama, juga banyaknya nash-nash yang di “bajak” untuk kepentingan satu golongan. Tidaklah begitu saja membuat barat sebagai arus dominan hingga melarang sistem ini berlaku. Karena layaknya udara yang membuat manusia bisa selalu hidup, syariat adalah daya hidup umat Islam. Lalu bila mayoritas masyarakat Muslim mendukung penerapan syariat, haruskah barat panik?

No comments:

Post a Comment