Resensi Buku : Hanoman, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar (Pitoyo Amrih) - Sang Pengejar Angin

Breaking

Wednesday, May 27, 2020

Resensi Buku : Hanoman, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar (Pitoyo Amrih)






               Theard kali ini akan membahas sebuah novel Hanoman, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar karangan Pitoyo Amrih. Penulis kelahiran Semarang ini memang dikenal dengan beberapa tulisannya tentang dunia wayang. Novel-novelnya pun bisa disejajarkan dengan beberapa penulis wayang terkemuka seperti Romo Shinduinata atau Sujiwo Tejo. Namun, berbeda dengan beberapa penulis tadi, Pitoyo mengembangkan karakter para wayang layaknya kehidupan nyata.

              Pitoyo memang cukup berani menarik tokoh-tokoh yang tadinya dianggap protagonis, tanpa cela untuk menjadi tokoh yang sewajarnya, memiliki kesalahan. Menjadikan tokoh-tokoh dalam pewayangan menjadi hidup layaknya manusia yang memiliki kepentingan, hasrat berkuasa dan sifat-sifat manusia lainya. Hal yang membuat novel-novel Pitoyo memiliki cerita yang kuat dan memberi pesan-pesan kuat yang cocok dengan kehidupan. Karena itulah, novel Pitoyo ini menjadi cerita yang cocok bagi kalian yang sedang jenuh isolasi diri di rumah.

Hanoman, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar




              Kisah ini bermula saat Antasena yang akrab dengan Baratayudha dalam epos Mahabrata, mendatangi resi Hanoman yang sedang bertapa untuk meminta nasihat tentang pertempuran yang akan terjadi. Tidak disangka oleh Antasena, sang petapa yang sudah hidup ratusan tahun ini malah meminta pendapatnya tentang perang besar yang akan terjadi. Antasena yang walau usianya masih tergolong muda, sudah memiliki pengetahuan tentang kehidupan dan bisa bercakap dengan para sesepuh dunia wayang yang usianya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Lalu, cerita pun berjalan mundur ke ratusan tahun lalu, saat epos Ramayana mengambil tempat.

             Diceritakan secara berurutan, mulai dari masa kecil Hanoman yang kebingungan karena ditolak oleh Anjani, yaitu ibu kandungnya sendiri, pertemunnya dengan Anila, sahabat sesama kera yang sama-sama dalam pengasuhan dan bimbingan Batara Indra di Khayangan. Kedua kera ini pun menjadi lawan tanding untuk mengasah kanuragan yang telah diajarkan oleh para dewa. Setelah kedua kera ini memiliki kekuatan yang sebanding, para dewa pun menurunkan keduanya ke dunia wayang. Hingga akhirnya bertemu di goa kiskenda, gua para prajurit kera, hingga nanti pertemuannya dengan Rama dan Lesmana yang membawa sebuah masalah, diculiknya Shinta oleh Rahwana.

                Hal ini yang menjadi menarik, saat sosok Hanoman menilai tokoh utama Rama, Sinta dan Rahwana. Dari sudut pandang yang bergolak, dari keyakinan menjadi keraguan, dan berakhir menjadi penyesalan dan kekecewaan. Kejanggalan-kejanggalan yang dibawa oleh dua kakak beradik Rama dan Lesmana, membuat Hanoman tetap berupaya menyakinkan dirinya berada dijalan yang benar. Namun, motif rahasia dimana Rama meminta pasukan kera untuk menyelamatkan Shinta, dengan "menghasut" akan adanya perang besar yang akan dilancarkan para pasukan raksasa, tanpa melibatkan pasukan kerajaan manusianya. Menjadi bahan pemikiran Hanoman, bahwa rasnya telah diperalat untuk kepentingan Rama.

                 Setelah pertempuran dengan hancurnya kerajaan Alengka (kerajaan para raksasa) dan tewasnya Rahwana. Ternyata menambah kegetiran Hanoman, setelah Rama tidak terlihat bahagia saat bertemu dengan Shinta. Padahal bagi para pasukan kera, pertempuran yang mengorbankan ratusan jiwa ini seharusnya bisa dirayakan dengan suka cita. Hal yang juga membuat saya terkesan, adalah pendapat Hanoman yang menilai sosok Rahwana yang merupakan raja cerdik, menjadi pesakitan karena cintanya yang tak sampai kepada Dewi Shinta. Sosok Rahwana yang sudah irasional ini pun akhirnya ditinggalkan oleh saudaranya, Wibisana yang menyeberang kepada pihak musuh.

              Segala pergolakan yang dialami oleh Hanoman membuatnya menyimpulkan bahwa peperangan yang terjadi bukanlah perang antara yang putih dengan yang hitam, bukan perang antara kebaikan melawan kejahatan. Pada kenyataannya, perang ini adalah benturan dua kepentingan yang saling bergesekan. Kepentingan satu dua orang yang dibayar oleh banyak nyawa lainya. Bermula dari termakannya Rama oleh kabar burung, hingga mengusir Shinta ke sebuah hutan yang hanya didampingi oleh para penjaga, adalah pukulan besar bagi Hanoman. Mengingat bagaimana ia berjuang, banyaknya korban baik kera, manusia ataupun raksasa, semuanya demi merebut satu wanita bernama Shinta. Tapi setelah direbut, perempuan itu dicampakkan begitu saja akibat kabar angin yang tidak jelas juntrunganya.

                  Inilah yang membuat Hanoman memilih meninggalkan negera Ayodya, meninggalkan Rama disinggasannya. Kemudian memilih menjadi resi dan bertapa di puncak Mahameru, tempat kepala Rahwana ditanam oleh dirinya. Sang resi pun terus menyimpan rasa kekecewaannya selama ratusan tahun melewati beberapa generasi manusia. Akhirnya bertempat di gua pertapaannya, dirinya pun kembali melihat dua benturan kepentingan yang lebih besar, dalam perang Baratayudha. Setelah berkelana beratus-ratus tahun kemudian pasca perang Baratayudha, dirinya pun ingin kembali turun ke dunia wayang yang telah berubah. Tapi keinginannya untuk menghentikan perang antar manusia tidak pernah berhasil, akibat pertemuanya dengan Batara Kala. Resi Hanoman pun memilih menjadi arca batu dan meninggalkan dunia yang fana, sedangkan peperangan antar manusia terus berlangsung hingga berbagai generasi.

             Novel Hanoman, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar karangan Pitoyo Amrih ini memang tidak jauh dengan karya-karya sebelumnya. Karya seperti "Antasena Antareja", Pitoyo ingin menguak sisi gelap para Pandawa yang digawangi sosok Sri Kresna. Juga pada novel "Karna" dan "Bisma Dewabrata" yang menampilkan sosok "putih" yang menyebrang ke pihak "hitam" dengan kesadaran dan konsekuensi yang ditanggung. Pitoyo seolah-seolah ingin menarik garis antara hitam dan putih dengan menampilkan tokoh-tokoh ini. Memanusiakan tokoh wayang, menjadi ciri khas dari novel-novel wayang karangan Pitoyo.

             Memang para pembaca mungkin akan bosan karena banyak adegan-adegan yang terus berulang bila ingin mengoleksi novel-novel Pitoyo. Juga pembaca pastinya tidak akan menemukan sosok-sosok protagonis yang akan berdiri tangguh layaknya "superhero". Kekhasan sifat manusia yang lemah, walaupun berpendirian kuat, ragu tapi tetap percaya dengan takdir kuasa. Memang lebih cocok untuk menjadi bahan perenungan dari pada jago-jagoan dalam kehidupan.  Karena dengan mengungkapkan dalam sebuah karya sastra, ide se radikal apapun bisa disampaikan dengan cara yang halus tanpa menimbulkan pertikaian yang mengarah ke anarkisme.

               
           

No comments:

Post a Comment