CITA NUGRAENI HARSANTI,S.Pd
Mahasiswa S2
Pendas Pascasarjana UPGRIS
Email: cytanugraeniharsanti@gmail.com
Abstract
Early Childhood Education (PAUD) is faced with
political, academic and theological dilemmas. On the one hand, PAUD is required
to organize learning to read, write and count, including reading and writing of
the Qur'an, but on the other hand, the Directorate General of PAUD prohibits
it. The purpose of this study is to describe the types of early childhood
learning in neuroscience studies. This research was conducted by involving
several PAUD institutions. This research approach is qualitative. Data
techniques such as interviews, observation and documentation. The collected
data were analyzed descriptively, interpretatively, and comparatively. The
results showed that PAUD in Yogyakarta can be placed into three. First, robotic
PAUD, which is PAUD at risk of damaging children's brains. Second, academic
PAUD, namely PAUD which is at risk of stunting the child's brain. Third,
scientific PAUD, which is PAUD which is oriented towards optimizing
brain potential.
Keywords: PAUD, Neuroscience, Academic Robotics and
Scientific.
Abstrak
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dihadapkan pada dilema politis, akademis, dan teologis. Di satu sisi
PAUD dituntut
menyelenggarkan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung, termasuk Baca Tulis Al-Qur’an, namun di sisi lain
Direktorat Jenderal PAUD melarangnya. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan tipe- tipe pembelajaran anak usia dini dalam kajian neurosains.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan beberapa lembaga PAUD. Pendekatan penelitian ini adalah
kualitatif. Teknik pengumpulan data
berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Data-data yang terkumpul
dianalisis secara deskriptif, interpretatif, dan komparatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa PAUD di Yogyakarta dapat dipetakkan menjadi tiga. Pertama,
PAUD robotik, yaitu PAUD yang beresiko merusak otak anak. Kedua, PAUD akademik,
yaitu PAUD yang beresiko membonsai otak anak. Ketiga, PAUD saintifik, yaitu
PAUD yang berorientasi pada optimalisasi potensi otak.
Kata Kunci: PAUD, Neurosains, Robotik Akademik dan Saintifik.
A.PENDAHULUAN
Hubungan antara
orang tua dan masyarakat dengan
lembaga pendidikan, khususnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Suyadi
dan Maulidya Ulfa 2013) yang menurut Ki Hadjar Dewantoro seharusnya sinergis
(tri pusat pendidikan) (Dewantara
1962: 3) kini mengalami
disharmonis. Di satu sisi masyarakat atau orangtua memiliki tuntutan ganda
selain anak harus memiliki karakter atau akhlak yang baik (Prasekolah and
Zulaikhah n.d., 2013: 355), (Ali 2015: 190) anak juga harus kemampuan membaca,
menulis dan berhitung (calistung).
Tetapi
di sisi lain,
lembaga PAUD dilarang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (Dirjen
PAUD) tidak boleh
menyelengarakan pembelajaran calistung (Nasional, Jenderal, and Menengah 2009).
Jika PAUD mengikuti tuntutan
masyarakat berarti PAUD tersebut
harus melanggar larangan Dirjen PAUD sekaligus
melakukan mal praktik pembelajaran yang berpotensi merusak otak anak. Namun jika PAUD mengindahkan larangan Dirjen PAUD untuk tidak menyelenggarakan pembelajaran calistung, maka PAUD
tersebut akan ditinggalkan masyarakat,
sepi peminat, bahkan dimungkinkan tutup. Dalam situasi yang serba
dilematis tersebut, semua lembaga PAUD melakukan
“rekayasa” agar tidak melanggar
larangan dirjen PAUD, tetapi dapat memenuhi tuntutan orangtua dan
masyarakat sehingga anak-anak mereka bisa calistung sejak dini (Ismatul
Khasanah 2013: 14), (Stys and Brown 2013).
Meskipun di Indonesia
kontroversi calistung baru hangat diperbicangkan
akhir-akhir ini, tetapi di Amerika isu tersebut telah dimulai sejak 1988 ketika
Connie Juel melakukan penelitian tentang membaca dan menulis bagi anak-anak
sampai kelas empat(Juel 1988: 437). Wajar jika saat ini Amerika telah membuat kebijakan nasional
untuk mencanangkan gerakan calistung, terutama pembelajaran matematika sejak dini (Committee on Early Childhood Mathematics 2009: viii). Rendahnya kualitas pembelajaran
matematika selama berabad-abad disebabkan karena tidak adanya dasar
pembelajaran matematika sejak awal, sehingga merugikan masa depan anak, baik
secara ekonomi maupun pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri (Ismatul
Khasanah 2013). Pendidikan matematika telah
menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan anak usia dini (balitas, pra
sekolah dan sekolah dasar) di seluruh dunia. Landasan memahami konsep
matematika yang berhubungan dengan akal dan angka harus dimulai dari awal
kehidupan sebagai benih kehidupan di masa mendatang (Suparni 2016: 57). Teori Vigotsky juga telah dimanfaatkan untuk
pembelajaran matematika secara
kolaboratif bagi anak usia dini (Cicconi 2014: 57). Bahkan beberapa
peneliti Amerika telah
spesifik mengembangkan pembelajaran ini khusus bagi anak difabel (Fischer 2009). Penelitian terbaru tentang calistung sudah sampai
pada pembuktian bahwa materi akademik pada pendidikan anak usia dini memberi
pengaruh kuat bagi pendidikan selanjutnya (Manfra et al. 2017: 528). Bahkan di India, sudah mencanangkan kebijakan kualitas perawatan anak
untuk menyiapkan generasi unggul (Reetu 2017: 41).
Penelitian ini
mengkaji tentang ragam pembelajaran calitung dalam perspektif neurosains di berbagai lembaga
PAUD secara tipologis. Pemetaan ini penting dilakukan dalam
rangka merumuskan model pembelajaran anak usia dini (termasuk calistung) terbaik,
yang sesuai dengan perkembangan dan karakteristik
cara kerja otak (Dundar and Ayvaz 2016). Mengingat
pembelajaran menyangkut banyak aspek,
maka pemetaan ini diperluas tidak hanya
obyek pembelajaran itu sendiri, melainkan juga subyeknya yang mencakup guru,
siswa, materi, strategi dan evaluasi. Berdasarkan pemetaan tersebut, masyarakat
dapat menentukan pilihan PAUD terbaik
bagi anak-anak mereka. Bagi lembaga PAUD sendiri
dapat memperbaiki proses pembelajaran menyesuaikan temuan-temuan dalam
penelitian ini, yakni sesuai perkembangan dan karakteristik cara kerja otak.
Penggunaan perspektif
neurosains diperlukan mengingat neurosains
saat ini telah menjadi dasar bagi praktik pembelajaran anak usia dini (George S. Morrison 2012: 44)
(Morrison 2007: 10). Dalam kajian
neurosains, stimulasi edukatif yang
bersifat abstrak seperti calistung, tidak dapat direspons
anak usia dini karena
perkembangan otaknya masih pada tahap pra operasional sehingga beresiko “merusak” otak. Tetapi,
memberikan stimulasi yang
sifatnya empirik dengan muatan akademik yang terlalu tinggi, termasuk
calistung, juga dapat beresiko “membonsai” otak anak. Hanya stimulasi yang benar-benar sesuai dengan perkembangan otak
anak yang dapat mengoptimalkan potensi otak anak.
B
. PEMBAHASAN
Pemetaan atau
tipologi PAUD dalam penelitian ini diukur dari kesesuaiannya dengan hasil-hasil
penelitian tentang otak atau neurosains,
terutama neurosains pendidikan (Pasiak 2016: 132). Menurut teori pembelajaran neurosains, kortek
prefrontal (otak bagian luar yang berfungsi untuk
berpikir kritis dan kreatif) pada otak anak usia dini belum berkembang maksimal
sehingga belum bisa merespons stimulus yang sifatnya abstrak dan rasional,
seperti calistung (Anderson-McNamee 2010).
Karakteristik otak pada tahap
ini baru bisa menerima stimulus
yang sifatnya kongkrit
dan empirik, seperti bermain
(Nouri 2016).
Berdasarkan
penjelasan neurosains ini, PAUD yang
memberikan stimulasi abstrak tidak sesuai dengan perkembangan otak anak
sehingga berisiko merusak
otak anak. Dalam hal ini, PAUD yang berpotensi merusak otak anak disebut sebagai PAUD Robotik. Disebut robotik karena
praktik pembelajarannya seperti robot, tidak
memakai otak, atau tidak
mengacu pada cara kerja otak sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu otak (neurosains).
Mengingat
jika PAUD hanya mengikuti teori pembelajaran neurosains sepenuhnya akan ditinggalkan
masyarakat karena tidak
membelajarkan calistung, maka sebagian besar melakukan rekayasa melalui bermain
(bermain sambil belajar: calistung). Semua kegiatan dan atau permainan diberi
muatan calistung agar anak mampu calistung. Dengan kata potensi otak anak yang
luar biasa hanya digunakan untuk mempelajari calistung. Hal ini sama saja
dengan pembonsaian atau pengkerdilan potensi otak.
Dalam neurosains dijelaskan bahwa anak yang
baru lahir mempunyai 100-200 miliyar neuron (Pasiak
2009: 91). Pada usia dua tahun
perkembangan otaknya telah mencapai 75%, pada usia 5 tahun perkembangan otaknya
telah mencapai 90% dan pada 10 tahun perkembangan otaknya telah mencapai 99%
(Suyadi 2014: 35). Di atas usia ini, perkembangan otak anak semakin melambat
sehingga untuk mencapai 100% perlu menunggu hingga usia 18 tahun. Oleh karena
itu, PAUD yang mengorientsikan semua
kegiatan hanya untuk pengembangan kompetensi akademik, seperti calistung dapat dikatakan sebagai PAUD yang beresiko membonsai potensi otak
anak. Di katakan membonsai otak karena potensi otak yang luar biasa hanya
digunakan untuk pengembangan satu bidang, yakni kompetensi akademik dengan
indikator calistung.
Dalam hal ini, PAUD yang berpotensi membonsai otak anak
disebut sebagai PAUD akademik.
Disebut PAUD akademik karena
orientasi utamanya PAUD Robotik dan
akademik jelas bukan tipe PAUD ideal.
PAUD yang ideal adalah PAUD yang sesuai dengan teori-teori
pembelajaran, khususnya neurosains. PAUD inilah yang mampu melakukan
optimalisasi potensi otak anak. Dalam hal ini, PAUD yang berorientasi pada
optimalisasi potensi otak
anak disebut dengan istilah PAUD Saintifik. Disebut PAUD Saintifik
karena praktik pembelajarannya selalu mengacu teori-teori di bidang neurosains. PAUD Saintifik tidak
merekayasa pembelajaran calistung sehingga anak-anak tidak sadar sedang belajar
calistung; mereka tidak belajar calistung namun di akhir kegiatan memiliki
kompetensi akademik yang bagus. PAUD Saintifik memandang anak yang bisa
calistung sejak dini belum tentu cerdas, demikian pula sebaliknya, anak- anak
yang belum bisa calistung sejak dini belum tentu tidak cerdas. Pasalnya, dalam neurosains konsep kecerdasan tidak
diukur dari kopetensi calistung, nemun jauh lebih luas, yang mencakup IQ, EQ, SQ
dan Multipe Intellegences.
Oleh karena itu,
penelitian ini memetakkan tipologi PAUD berdasarkan teori
neurosains menjadi
tiga tipe, yakni
PAUD Robotik, PAUD Akademik,
dan PAUD Saintifik. Mengingat bahwa calistung pada jenjang PAUD melibatkan setidaknya lima komponen,
yakni guru, anak didik, materi pembelajaran, strategi pembelajaran atau dan
evaluasi pembelajaran (Suyadi dan Maulidya Ulfa 2013: 56), maka penelitian ini
merinci ciri-ciri PAUD Robotik,
Akademik dan Saintifik berdasarkan kelima
komponen tersebut.
1. PAUD Robotik
Secara etimologi,
kata “robot” diartikan sebagai alat berupa orang-orangan dan sejenisnya yang
bisa bergerak (berbuat seperti manusia yang dikendalikan oleh mesin. Di samping
itu, robot juga diartikan sebagai orang yang menurut saja terhadap perintah
orang lain. Dalam kamus
Bahasa Indonesia dicontohkan, “Pakailah otakmu,
jangan seperti robot saja.” Di dunia
maya, istilah robot diartikan sebagai serangkaian perangkat elektronik yang
dapat dikendalikan secara mekanis utuk membantu keperluan manusia. Secara
terminologi, menurut Munif
Chatib istilah robot
dilawankan dengan sekolahnya
manusia (Chatib 2009: 91).
Menurutnya,
sekolahnya robot adalah sekolah
yang menggunakan sejumlah
tes ketika masuk, ingin mencetak semua anak yang berlatar
belakang berbeda menjadi berkemampuan sama, menerapkan
sistem ranking kelas, membuat kategori-kategori tertentu dan lain sebagainya
(Chatib 2012: 61). Dalam hal ini, Munif Chatib tidak membuat definisi
operasional mengenai sekolahya robot yang dimaksud, melainkan sebatas
menyebutkan beberapa ciri-cirinya. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa secara
umum, yang dimaksud PAUD Robotik di
sini adalah PAUD yang beresiko merusak
otak anak. Berikut
ini penjelasan lebih detail mengenai ciri-ciri PAUD robotik
ditinjau dari lima komponen
pendidikan, yakni guru, anak didik,
strategi, materi dan evaluasi.
a.
Guru Robotik; diktator kelas
Guru pada PAUD robotik (guru
robotik) adalah dictator kelas yang mengajar dengan segala otoritasnya.
Meminjam istilah Freire, ia
mengajar dengan cara menggurui, guru mengajar anak diajar, guru memberi tahu anak diberitahu, guru mengatur anak
diatur, guru memerintah anak diperintah dan seterusnya (Freire 2008: 34).
Guru robotik banyak mengeluarkan instruksi, perintah, dan larangan yang harus
ditaati anak tanpa boleh dibantah. Pada situasi tertentu, jika terdapat anak yang tetap tidak bisa diam
maka guru robotik akan memberi hukuman,
seperti jewer (menarik telinga anak), slentik (memukul telinga
anak dengan jari tengah), jiwit (semacam
dicubit namun dengan kebencian), dan
lain sebagainya (Hook and Farah 2013). Jika anak yang dikenai
hukuman menangis, biasanya guru pendamping menarik anak tersebut ke luar kelas.
Ibu Musyarifah mengatakan, “Masih
banyak, bahkan lebih
dari 70% guru PAUD yang mengajar menjadi penguasa
kelas, dan dia senang jika anak menjadi diam dan penurut.”
Guru robotik juga
dicirikan dengan banyaknya memberi perintah dan larangan, sehingga anak
benar-benar dikendalikan. Jika pedagogi ini dilihat dari kacamata neurosains,
maka otak anak dalam situasi tegang dan
takut-mencekam, sehingga tidak dapat berkembang. Lihat salah satu contoh situasi
berikut ini:
Gambar 1a Guru sedang memberi perintah, instruksi, dan sejumlah larangan kepada
anak-didik agar duduk manis diam terpaku dengan meletakkan tangan di atas
meja dalam keadaan dilipat. |
Gambar 1b. Tulang belakang anak
menegang (peradangan batang
otak/ sumsum tulang belakang) ketika
duduk lebih lama.
Tulang belakang anak
tidak atau belum didesain untuk duduk dalam jangka waktu
lama karena dapat merusak
jiwa dan badan (Eric Jensen 2010: 96) |
Gambar 1a dan 1b di
atas menjelaskan bahwa guru sedang memberikan
instruksi agar anak duduk diam terpaku dengan
melipat tangan di atas meja. Padahal,
dalam neurosains, anak usia dini belum “didesain”
untuk posisi tersebut (Clark 2017).
Bagi anak, duduk adalah kerja keras yang menimbulkan kelelahan badan, menurunkan konsentrasi, meningkatkan
kegelisahan (cemas), dan berpotensi menimbulkan masalah pada
kedisiplinan (Eric Jensen, 2010: 96). Duduk
dalam waktu yang
lama tanpa jeda
menjadikan tulang belakang meradang, tubuh lelah dan pernapasan menyempit. Sedangkan Guru robotik berpandangan bahwa anak yang baik adalah anak yang selalu taat dan patuh terhadap
perintah guru, termasuk
harus duduk manis diam terpaku melipat tangan di atas
meja dalam jangka waktu yang lebih lama.
b.
Anak-anak robotik; obyek pembelajaran
Anak-anak robotik adalah
anak-anak yang dijadikan diam membisu oleh gurunya sehingga ia hanya akan
“bergerak” sesuai perintah dan instruksi guru. Mereka tampak tekun, rajin, dan
rutin mematuhi semua instruksi guru, namun semua itu dilakukan bukan karena anak tersebut respek
dan nyaman dengan
gurunya, melainkan karena
rasa takut: takut gurunya marah, takut salah, takut dihukum, takut dianggap
anak nakal, dan lain sebagainya (Erden 2016).
Anak-anak robotik,
belajar ke lembaga PAUD juga lebih
didorong oleh perintah bahkan paksaan, bukan atas keinginannya sendiri. Mereka
tidak begitu memperedulikan apakah di sekolah dirinya lebih riang gembira atau
sebaliknya. Anak-anak robotik mengesampingkan perasaannya sendiri demi “menyenangkan” dan mematuhi perintah
orang tua atau gurunya. Dengan
demikian, anak- anak robotik ke sekolah
bukan untuk dirinya,
namun untuk orang
tua dan gurunya.
c.
Materi pembelajaran robotik
Materi pembelajaran robotik
adalah materi pelajaran yang oleh guru dipandang baik sehingga wajib
dikuasai anak. Akan tetapi,
anak itu sendiri tidak merasa membutuhkan materi tersebut bahkan meskipun telah
dipelajari, anak tidak menangkap makna yang berarti dalam hidupnya. Materi
pembelajaran robotik bersifat anti realitas, bahkan terkesan utopis. Anak-anak
dipaksa mempelajari materi tertentu meskipun mereka
menjadi semakin menderita di sekolah.
d.
Strategi Pembelajaran Robotik; Mekanik
Strategi pembelajaran pada PAUD robotik
adalah strategi
pembelajaran yang mekanistik, atau
metode pembelajaran yang
monoton (ajeg). Jika dianalisis karakteristik guru dan
anak-anak robotik sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan
jelas bahwa pola pembelajaran robotik bersifat satu arah (guru-anak).
Konsekuensinya, strategi pembelajaran bersifat indoktrinatif, bukan transformatif, dan jauh dari kata trans-internalistik.
e.
Evaluasi pembelajaran labelistik
Andre…. JANGAN NAKAL! |
Ciri utama model evaluasi dalam PAUD robotik adalah pelabelan atau labelistik. Meskipun secara dokumentatif- admisnistratif guru-guru robotik ini menggunakan teknik skala bintang satu (*/1*) sampai empat (****/4*), namun dalam praktiknya, ia sering mengeluarkan statemen-statemen tertentu (label) untuk menilai anak didiknya (Abramov and Russian 2017). Dengan kata lain, secara lahiriah ia melakukan evaluasi memenuhi standar administrasi-dokumentatif, namun secara batiniah (evaluasi terbatinkan), ia menjustifikasi anak didiknya dengan label-label tertentu. Bukti mengenai hal ini dapat diamati pada gambar 2 yang menunjukkan bahwa dalam reaksi spontan, ketika anak didik melanggar aturan (bicara sendiri ketika guru menjelaskan), secara refleks, guru tersebut langsung mengatakan, “Andre, jangan nakal!”.
Guru robotik melakukan labelling secara reflek terhadap anak
didik yang tidak menuruti instruksi atau perintahnya dengan kata “nakal.”
Model evaluasi labelling di PAUD robotik tersebut akan semakin jelas ketika sejak awal
peneliti memasuki PAUD-PAUD di
pelosok pedesaan. Dengan demikian, sebelum melakukan evaluasi pembelajaran,
guru-guru robotik telah mempunyai label negatif tentang anak didik mereka. Hal
ini menunjukkan bahwa model evaluasi labelling
berjalan secara batiniah di
hampir semua lembaga PAUD robotik.
Bila PAUD robotik ini ditabulasikan secara
terperinci, akan tampak sebagai berikut.
Tabel 1. Ciri-ciri PAUD Robotik
Aspek |
Ciri-ciri |
Konsep dasar |
PAUD robotik adalah
PAUD yang beresiko merusak otak anak, karena terlalu banyak instruksi, perintah, larangan dan
hukuman yang membuat suasana kelas menjadi mencekam sehingga mematikan kreatifitas otak anak. |
Guru |
Guru robotic adalah dictator kelas yang bersikap
mekanistik, otoritatif, dan indoktrinatif. |
Anak didik |
Anak didik di PAUD robotik adalah anak-anak yang
dijadikan diam membisu oleh gurunya, sehingga ia hanya akan bergerak sesuai
perintah dan instruksi guru. Mereka belajar bukan karena ingin pintar,
melainkan sekadar mematuhi orangtua dan
mentaati instruksi guru,
di samping paksaan dari keduanya. |
M a t e r i / kurikulum |
Materi pembelajaran robotik adalah
materi pelajaran yang oleh guru dipandang baik
dan wajib dikuasai anak, namun anak itu
sendiri tidak merasa membutuhkan materi tersebut bahkan meskipun telah
dipelajari anak tidak menangkap makna yang berarti dalam hidupnya. |
S t r a t e g i pembelajaran |
Strategi pembelajaran di
PAUD robotik bersifat mekanistik, perintah, nasihat, dan petuah disertai ancaman
dan hukuman. |
Evaluasi |
Secara lahiriah evaluasi di seluruh lembaga PAUD (termasuk robotik) adalah mengikuti
standar penilaian. Namun secara batiniah evaluasi yang
berlangsung di PAUD
robotik adalah pelabelan. |
1.
PAUD Akademik
Secara etimologi,
kata “akademik” diartikan sebagai bersifat teoretis tanpa arti praktis secara
langsung. Pada umumnya, istilah
akademik selalu disinonimkan dengan Perguruan Tinggi
(Nasional, 2012: 12). Pada jenjang inilah pembelajaran bersifat
akademis, teoretis, bahkan seringkali filosofis. Berdasarkan
maknanya secara etimologi ini,
istilah “akademik” dapat diartikan sebagai pembelajaran yang bersifat
konseptual (Manfra et al. 2017). Secara terminologi, istilah akademik dapat
dimaknai sebagai pendidikan, keilmuan, logika matematika, sains, dan ilmu
pengetahuan. Istilah “akademik” juga
sering melekat pada
kalimat “Tes Potensi
Akademik” yang berarti uji logika. Berdasar pengertian terminologi ini,
istilah “akademik” dapat diartikan sebagai pendidikan yang menekankan pada
pengembangan kognitif.
Gambar 3. Suasana kelas PAUD akademik
Berdasarkan
pengertian akademik, baik secara etimologi maupun terminologi di atas,
yang dimaksud dengan
PAUD akademik Di sini adalah PAUD yang
beresiko membonsai otak, karena potensi otak anak yang luar biasa hanya
digunakan untuk mengembangkan kompetensi akademik (logika matematika, sains,
bahasa,) melalui pembelajaran calistung. Dengan kata lain, Gambar 3 di atas
mencerkan suasana kelas pada PAUD akademik
yang mirip dengan sekolah dasar dan menengah. Selanjutnya, berikut ini dijelaskan ciri- ciri PAUD akademik secara
sistematis.
a.
Guru PAUD akademik sebagai
fasilitator
Guru pada PAUD akademik cenderung berparadigma tunggal bahwa kecerdasan sebatas
kemampuan di bidang akademik, yakni pengembangan logika, matematika, sains,
bahasa dan baca-tulis ( Juel 1988). Di luar kompetensi akademik tersebut,
dipandang sebagai kecerdasan sekunder. Ia berpandangan
bahwa anak yang baik atau anak yang cerdas
adalah anak yang mempunyai keunggulan di bidang akademik. Misalnya, guru lebih respek
terhadap anak yang tulisannya
lebih rapi daripada yang tulisannya nyeni (mirip lukisan,
untuk tidak mengatakan
seperti cakar ayam). Gambar 3a-b
menunjukkan proses pembelajaran menulis
anak TK kelas B (usia 5,5 tahun).
|
|
Gambar 3a-b. Tulisan anak akademik pada jenjang
TK/RA.
Pada akhir kegiatan, guru-guru PAUD akademik selalu menanyakan selesai
atau tidak tugas yang diberikan. Muara dari
pertanyaan tersebut adalah
sudah selesai menulis
atau belum. Artinya,
guru PAUD akademik selalu
mencanangkan selesainya tugas-tugas pembelajaran yang bercorak akademis
(Omar 2015). Guru akademik sebagai fasilitator tetap
berorientasi agar anak didik mempunyai kompetensi akademis tinggi. Oleh karena itu, fasilitas yang diberikan
sebatas menunjang kemampuan ini.
Sedangkan aspek-aspek lain,
seni, misalnya, kurang menjadi
perhatian guru-guru PAUD akademik.
b.
Anak-anak akademik
Anak-anak akademik adalah
mereka
yang
lebih
banyak
melakukan kegiatan terkait tugas-tugas akademik, seperti belajar logika
matematika, bahasa (membaca dan
menulis), serta sains dan ilmu pengetahuan. Mereka mengejar “bintang”, nilai,
prestasi, dan penghargaan lainnya (Kara, Aydin, and Cagiltay 2013). Semuanya
dilakukan bukan karena mereka memiliki keunggulan di bidang kecerdasan
matematis logis sebagaimana disebutkan Gardner dalam Multiple Intelligences, namun
lebih karena tuntutan
orangtua dan guru. Lebih dari itu, anak-anak akademik oleh kedua
orangtua mereka telah diikutkan
les (pembelajaran tambahan
di luar jam sekolah) untuk
mengikuti baca-tulis dan berhitung. Pembelajaran Calistung telah
menjadi “hantu” bagi
orangtua, seolah-olah jika
anaknya lulus TK belum bisa calistung
merupakan “aib” bagi keluarga.
c. Materi pembelajaran akademik;
satu tigkat di atas kemampuan anak
Materi pembelajaran pada PAUD
akademik sesuai dengan namanya, adalah kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada
pengembangan kompetensi akademik, seperti membaca perluman atau keaksaraan
(Sulastri Yusro 2013: 342) berhitung
atau mengenal angka dan bilangan (Ismatul Khasanah 2013: 14) bahasa, sains dan
lain sebagainya (Aulina, 2012: 131). Bahkan,
beberapa PAUD telah mengajarkan
bahasa kedua atau bahasa asing (bilingual)
(Garrity et al. 2018: 1), baik bahasa arab, inggris
maupun mandarin. Semua kegiatan pada tiap-tiap
tema pembelajaran, termasuk bermain (Anderson-McNamee, 2010: 2) syarat dengan
muatan akademik. Seolah-olah kegiatan pembelajaran akan kehilangan maknanya
tanpa capaian akademis tertentu. Gambar 4a-b-c menunjukkan buku ajar
pada PAUD akademik.
Gambar 4a-b-c. Materi pembelajaran PAUD akademik
Materi pembelajaran
akademik pada dasarnya merupakan materi pembelajaran yang selalu satu tingkat
lebih tinggi dari kemampuan anak sehingga anak akan belajar lebih keras untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya. Misalnya, materi pembelajaran SD sepuluh tahun
yang lalu telah diajarkan pada TK hari ini.
d.
Strategi
pembelajaran dinamik
Secara
umum,
strategi
pembelajaran
yang
digunakan
di
PAUD akademik relatif dinamik,
seperti storytelling (Ma et al. 2012), story reading (Isbell et al. 2004),
digital storytelling (Robin 2008) dan lain sebagainya. Strategi
pembelajaran yang dominan di PAUD adakademik adalah bermain, sehingga
terkenal dengan slogan, “bermain seraya belajar atau belajar seraya bermain)
(Istiyani, 2013: 3-5). Beberapa PAUD menjadikan
strategi ini sebagai slogan dalam pembelajaran. Namun demikian, dalam praktiknya bentuk konkret metode tersebut
sulit dikenali. Artinya, satu kegiatan dapat dimaknai sebagai bermain, belajar, atau keduanya masih menjadi
perdebatan. Jika parameter bermain adalah rasa senang (Anggani Sudono, 2006: 8) yang dialami anak,
maka kegiatan yang sama dapatmenimbulkan
perasaan yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Gambar 6 menunjukkan permainan yang syarat dengan kompetensi akademik.
Gambar 6. Alat Permainan Edukatif (APE)
Akademis , balok Pasak Bersusun
Gambar 6
mengindikasikan bahwa hampir semua bentuk permainan di lembaga
PAUD telah bergeser dari
edukatif ke akademik.
Muatan angka dan huruf
yang kemudian anak diminta menyusunnya secara berurutan sehingga membentuk pola tertentu adalah
salah satu indikasinya (Anderson-McNamee 2010).
Bahkan saat ini telah banyak
dikembangkan multimedia pembelajaran interkatif untuk pengenalan angka dan huruf bagi anak
usia dini (Istiyani, 2013: 169). Hal ini mengundang tanda tanya, apakah
sesungguhnya yang dimaksud dengan bermain dalam konteks pembelajaran anak usia
dini? Telah banyak pakar yang
membicarakan hal ini, namun semuanya belum berhadapan dengan realitas
kontekstual sebagaimana dideskripsikan
di atas.
e.
Penilaian
berbasis tes dan
kompetensi akademik
Model evaluasi pembelajaran di
lembaga PAUD akademik cenderung memberi penghargaan berlebihan terhadap
prestasi akademik anak melalui tes dan non-tes
Meskipun penghargaan tersebut
sebatas tepuk tangan,
“tepuk tangan untuk si A” atau pujian tertentu, “anak pintar”,
termasuk pemberian bintang (*), namun semuanya dimaksudkan untuk memacu
anak agar mampu menyelesaikan tugas lebih baik agar semakin banyak penghargaan
yang diperoleh.
Selanjutnya, evaluasi
pembelajaran PAUD akademik selalu dicirikan dengan sejumlah tes yang sifatnya
kognitif (Dundar and Ayvaz 2016). Tes di sini bukan berarti sejumlah soal yang
harus dijawab pada lembar kerja seperti anak-anak sekolah, namun sejumlah pertanyaan post test setelah anak-anak melakukan kegiatan
pembelajaran. Pada umumnya, model
evaluasi ini berujung pada sistem ranking kelas yang menempatkan anak dengan
skor tertinggi atau bintang terbanyak pada posisi teratas atau peringkat
teratas. Sedangkan anak-anak dengan
skor rendah dan hanya sedikit
bintang ditempatkan pada posisi terendah.
Tabel. 2 Cri-ciri PAUD Akademik
Aspek |
Ciri-ciri |
Konsep dasar |
PAUD akademik adalah PAUD yang beresiko membonsai
otak anak, karena potensi otak yang
luasr biasanya hanya diorientasikan pada
pengembangan akademik semata. |
Guru |
Fasilitator pengembangan kompetensi akademik, sepeti
membaca, menulis, berhitung, sain dan lain
sebagainya. |
Anak didik |
Anak didik dipandang sebagai makhluk pembelajaran yang
bertugas mempelajari segala hal. |
Materi/ kurikulum |
Materi pembelajaran didominasi
pengembangan kemampuan akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung. |
Strategi pembelajaran |
Secara teoretis “bermain seraya
belajar, belajar seraya bermain”, namun secara praktis, “bermain kemudian
belajar.” |
Evaluasi |
Prates-post tes, ujian
tulis. |
2.
PAUD Saintifik
Secara etimologi,
istilah saintifik berasal dari kata “sains”
yang berarti ilmu sistematis yang dapat dibuktikan kebenarannya
berdasarkan data-data empirik.
Saintifik juga dapat dimaknai sebagai disiplin ilmu yang sifatnya
ilmiah (Nasional, 2012: 495). Secara terminologi, istilah saintifik-termasuk
neurosains-diartikan sebagai bentuk sains secara khusus, yakni ilmu pengetahuan
yang disusun secara sistematis dan obyektif serta dapat diteliti kebenarannya
(Achmad Maulana, 2004: 213). PAUD saintifik
di sini didefinisikan sebagai PAUD yang
berorientasi pada pengembanan potensi otak anak didik secara holistik.
PAUD saintifik merupakan kebalikan
dari PAUD robotik sekaligus
pengembangan dari PAUD saintifik. Jika PAUD robotik adalah PAUD yang beresiko merusak otak anak, sementara PAUD akademik merupakan PAUD yang beresiko membonsai otak
anak, maka PAUD saintifik
adalah PAUD yang berorientasi pada
optimalisasi seluruh potensi otak anak. PAUD saintifik tidak lagi memperdebatkan pembelajaran calistung,
bahkan telah mengarah pada pengembangan robotika pembelajaran anak usia dini
yang mengintegrasikan seni, musik dan teknik, termasuk calistung di dalamnya, seperti
yang dilakukan oleh Singapura (Sullivan and Bers, 2017: 1). Berikut ini dikemukakan ciri-ciri PAUD saintifik dilihat dari sisi guru, anak didik, materi
pembelajaran, metode atau strategi,
dan sistem evaluasi.
a.
Guru saintifik (Insinyur pembelajaran)
Guru saintifik adalah insinyur
pembelajaran yang aktif menyusun rancang bangun stimulasi edukatif bagi
optimalisasi potensi otak. Ia merupakan
guru transformatif atau pemimpin bagi anak-anak untuk melakukan peruhahan berpikir
dan perspesi (Erden, 2016: 134). Guru saintifik sering menjadi idola bagi
anak-anak seperti bintang film (Schwarz-Franco,
2016: 994). Guru saintifik
juga giat melakukan riset di dalam kelas (semacam
penelitian tindakan kelas/PTK) (Suyadi, 2011: 15), membuat eksperimen
pembelajaran (Yunanda et al., 2015: 25), dan haus akan inovasi pembelajaran
serta aktif melakukan uji coba strategi-strategi pembelajaran terbarukan (Yunus, 2017: 48). Mereka juga motivator
bagi anak untuk membangun rasa
percaya diri
secara kokoh (Rahman, 2013: 375). Termasuk dalam
hal ini adalah perlakukan guru saintifik yang
yang membedakan antara
anak yang memiliki
kecepatan belajar tinggi dan anak yang mengalami keterlambatan berpikir (Iigaya
et al., 2017: 1-2).
Guru saintifik ketika
mengajar bagaikan “memahat” otak anak-didiknya melalui berbagai treatment pembelajaran, termasuk memberi
tantangan fisik yang dibedakan antara anak laki-laki dan perempaun karena
keduanya memiliki karakteristik ketangkasan yang berbeda (Lander et al., 2017:
113). Inilah yang membedakan guru robotik dan akademik dengan guru saintifik.
Jika guru robotik mengajar dengan menjadi diktator di dalam kelas, guru
akademik mengajar dengan menjadi fasilitator, maka guru saintifik
mengajar dengan menjadi katalisator.
b. Anak-anak saintifik sebagai
reaktor
Anak-anak saintifik, bukan sekadar
calon saintis sebagaimana anak-anak akademis yang
dicetak untuk menjadi akademisi. Anak saintifik adalah anak yang tumbuh dan
berkembang seluruh potensi otaknya
secara optimal. Mereka tidak hanya memiliki kecerdasan tunggal secara
intelektual, melainkan kecerdasan ganda (majemuk).
Mereka berangkat ke sekolah (PAUD) bukan
karena perintah dan paksaan orangtua seperti anak-anak
robotik dan akademik, melainkan atas dorongan hasrat rasa ingin tahu yang
berkobar dalam dirinya. Mereka berangkat ke sekolah (PAUD) seakan mengemban visi emosional, kebebasan berekspresi,
berimajinasi, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum PAUD saintifik sangat mengedepankan pembelajran emosi (Clark,
2017:2) atau dengan istilah lain pengembangan karakter. Jika anak-anak robot merasa dipenjara sepanjang proses
pembelajaran di sekolah (PAUD), sedangkan
anak-anak akademik merasa terbebani atas tugas-tugas akademik, maka anak-anak
saintifik merasa ditantang untuk melakukan banyak kegiatan pembelajaran. Beberapa anak lebih
memilih untuk berlama-lama di sekolah
daripada harus segera
pulang ke rumah.
c. Materi pembelajaran saintifik
Materi pembelajaran (kurikulum) pada
PAUD saintifik adalah stimulasi edukatif, termasuk bermain (Alabekee, 2015: 2), khususnya kegiatan yang yang bermakna
dalam kehidupan anak dan
disesuaikan dengan kebutuhan masa depan anak (Mustaqim n.d., 2014: 1). Sebagaimana PAUD akademik
yang mulai mengajarkan bahasa kedua (bilingual), (Garrity et al. 2018: 1) PAUD saintifik juga telah membekali anak dengan mengenalkan bahasa
asing (Spies et al.
2017: 23). Materi pembelajaran dikemas secara
empiris dan ditata sedemikiran rupa supaya mengundang decak kagum anak didik
sehingga materi tersebut
melekat dalam ingatan
memori otaknya.
Sekadar contoh, seorang guru PAUD
mengemas materi pembelajaran “Rekreasi” dengan subtema “Perlengkapan Rekreasi,
Nasi” secara empirik di sentra alam. Gambar 8a-b-c menunjukkan materi
pembelajaran pada PAUD saintifik.
Gambar 8. Materi pembelajaran saintifik
d. Strategi pembelajaran sebagai generator
Sebagaimana telah disinggung di
atas, bahwa strategi pembelajaran pada PAUD saintifik adalah rancang bangun
stimulasi edukatif secara instrumentatif yang sifatnya variatif dan
imajinatif (Colwyn Trevarthen, 2017:
1) serta dilakukan secara sistematis (Lubis et al., 2010: 665), bukan
mekanistik dan dinamik seperti di PAUD robotik
dan akademik. Di samping itu, strategi pembelajaran pada PAUD saintifik lebih banyak mengadopsi metode-metode pembelajaran quantum, seperti accelerated
learning, quantum learning, active learning, multiple
intelligences, coperative learning dan lain
sebagainya (Tengah n.d., 2015:
279). Di Indonesia, strategi-strategi ini masih sebatas wawasan guru, belum
menyentuh ranah praksis di ruang kelas pembelajaran.
Jika di atas disebutkan bahwa guru saintifik adalah katalisator,
sementara anak-anak saintifik adalah reaktor,
sedangkan materi pembelajaran sebagai
stimulator, maka
strategi pembelajaran saintifik adalah generator. Strategi pembelajaran quantum, termasuk multiple intelligences, bagaikan
generator yang bekerja secara mikroskopis menghubungan neuron bermuatan
informasi yang satu dengan neuron bermuatan informasi lainnya, kemudian bereaksi membentuk senyawa kimia baru yang kemudian dalam konteks
pendidikan disebut ide kreatif dan imajinatif (Vygotsky 2004) .
a.
Evaluasi autentik, menggali keunikan potensi anak
PAUD saintifik menggunakan
model evaluasi autentik
(authentic assesment). Asesmen autentik adalah proses evaluasi yang bermakna
secara signifikan untuk mengukur kinerja, prestasi, motivasi, dan sikap pada
ranah keterampilan dan pengetahuan sepanjang proses pembelajaran. Dalam konteks
PAUD saintifik, asesmen autentik
dimaksudkan untuk membuka rahasia potensi diri yang tersimpan dalam keunikan
otaknya (Yunus, 2017: 48).
PAUD saintifik, dengan multiple intelligences sebagai basis strategi
pembelajaran, mustahil menggunakan model evaluasi kovensional yang hanya menggunakan kriteria
tunggal secara terstandar. Penilaian
autentik setidaknya dicirikan oleh empat indikasi, yakni (1) belajar
tuntas, (2) proses berkesinambungan, (3) multikriteria dan (4) penggunaan
teknik penilaian yang bervariasi. Belajar tuntas berarti anak tidak akan melakukan
kegiatan lain sebelum
kegiatan yang satu selesai (Yunus 2017). Menggunakan multikriteria berarti penilaian tidak sebatas
ranah kognitif seperti
pada PAUD akademik, tetapi
juga mencakup afektif dan psikomotorik, di samping kecerdasan majemuk itu sendiri. Menggunakan teknik penilaian yang variatif
berarti guru cermat memilih teknik evaluasi tertentu untuk menilai kegiatan
tertentu pula.
SIMPULAN
Diferensiasi tipologi PAUD di
atas terjadi pada tingkat mikroskopis atau soft-reality.
Artinya, dalam sebuah lembaga atau institusi
PAUD, di dalamnya memungkinkan untuk terjadi campuran ketiga tipe pembelajaran, baik
robotik, akademik maupun saintifik. Para orangtua dan masyarakat dapat
mencermati kelima komponen PAUD (guru, anak didik, materi/ kurikulum, metode
dan evaluasi) mana PAUD yang lebih dominan saintifiknya dari pada robotik dan
akademik.
Harus diakui, di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah belum ada PAUD
saintifik secara sempurna, baik gurunya, anak didiknya, materinya, strategi
pebelajarannya, dan ebaluasi maupun evaluasi pembelajarannya. Bagi para pengelola lembaga PAUD, pemetakkan yang menukik secara detail seperti ini dapat mengidentifikasi, aspek-aspek mana yang harus dipertahankan (sudah saintifik) dan aspek-aspek mana yang harus ditingkatkan
(masih akademik) serta aspek-aspek mana yang harus dirubah secara total, karena masih robotik.
Bagi para pengelola PAUD pemetaan
ini dapat menjadi bahan untuk membersihkan
praktik-praktik pembelajaran robotik, memperbaiki pembelajaran yang masih
akademik dan mengembangkan PAUD
saintifik lebih variatif. Hal ini
dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur kategori pada
masing-masing tipologi PAUD (robotik, akademik, dan saintifik), baik
gurunya, anak didiknya, materi pembelajarannya, strategi pembelajarannya, maupun evaluasi pembelajarannya.Berdasarkan penjelasan di atas,
sudah seyogyanya PAUD robotik
memetamorfosis diri menjadi PAUD saintifik, PAUD akademik
menggeser diri ke arah PAUD saintifik dan PAUD saintifik
terus mengembangkan diri lebih variatif.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Maulana, Dkk. 2004. Kamus
Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta: Absolut. http://kin.perpusnas.go.id/ DisplayData.aspx?pId=31456&pRegionCode=UNIGOR&p
ClientId=136.
Ali, Mahdi M. 2015. “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Anak Usia
Dini Mahdi M. Ali Dinas Sosial (Panti Asuhan Nirmala) Kota Banda Aceh.” 1(
July): 190–215.
Anderson-McNamee, Jona
K. 2010. “The
Importance of Play in Early Childhood Development.” Family and Human Development: 1–3..
Aulina, Choirun Nisak. 2012. “Kosakata Terhadap Kemampuan Membaca.” 1(2):
131–43.
Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa. www. goodreads.com/book/show/6514168-sekolahnya-manusia.
———. 2012. Orangtuanya Manusia, Melejitkan Potensi Dan Kecerdasan Dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak. Bandung: Kaifa. www.goodreads.com/ book/show/15779180- orangtuanya-manusia.
Cicconi, Megan.
2014. “Vygotsky Meets
Technology: A Reinvention
of Collaboration in the Early Childhood Mathematics Classroom.” Early
Childhood Education Journal 42(1): 57–65.
Clark, Amy J. 2017.
“Preschool Social Emotional
Learning and Curriculum Design :
The Changing System Changing System.”
Colwyn Trevarthen, Jonathan Delafield-Butt. 2017. “Intersubjectivity
in the Imagination and Feelings of the Infant:
Implications for Education in the Early
Years.” http://www.springer.com/us/
book/9789811022746.
Committee on Early Childhood Mathematics. 2009. Mathematics Learning in Early
Childhood: Paths Toward Excellence and Equity. eds.
Taniesha A. Woods Christopher T. Cross and and Heidi Schweingruber. Washington,
D.C.: The National Academies Press.
Dewantara, Ki Hajar.
1962. Karja Ki Hadjar Dewantara - Bagian Pertama:
Pendidikan. Yogyakarta: MLPTS.
Dundar, Sefa, and Ulku
Ayvaz. 2016. “From Cognitive to Educational Neuroscience.” International Education
Studies 9(9): 50. http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ies/article/ view/56856.
Fatah, Ahmad. “Dimensi
Keberhasilan Pendidikan Islam Program Tahfidz
Al-Qur ’ an A . Pendahuluan Salah Satu Aspek Kehidupan Umat Muslim Di Indonesia Yang Benar-Benar Memerlukan Pemikiran Dan Usaha
Terus-Menerus Untuk Memperbaikinya , Adalah
Bidang Pendidikan . ( Ali , 1.” 9(2):
335–56.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan
Kaum Tertindas. Jakarta: Lp3es.
George S. Morrison. 2012.
Dasar-Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta: Indeks.
Ismatul Khasanah. 2013. “Pembelajaran Logika
Matematika Anak Usia Dini (Usia 4 – 5 Tahun) Di Tk Ikal Bulog Jakarta
Timur.” Jurnal Penelitian PAUDIA,
Volume 2 No. 1 Vol. 2., N.
Istiyani, Dwi. 2013. “Model Pembelajaran Membaca Menulis Menghitung.” Jurnal
Penelitian STAIN Pekalongan
10(1): 18.
Lubis, Maimun Aqsha et al. 2010. “Systematic Steps in Teaching and Learning Islamic Education in the Classroom.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 7(October 2014):
665–70.
Mustaqim, Yunus. “Pengembangan Konsepsi Kurikulum Dalam
Pendidikan Islam A . Pendahuluan Dewasa Ini , Kurikulum Sudah Menjadi Disiplin
Ilmu Tersendiri Dan Telah
Berkembang Cukup Signifikan , Baik Secara
Teoritis Maupun Praktis . Dahulu , Kurikulum
Dinamakan Kurikulum Tradi.” 9(1): 1–24.
Nasional, Departeman Pendidikan.
2012. Tesaurus Alfabetis Bahasa
Indonesia, Pusat Bahasa: Sinonim, Antonim, Hiponim, Dan Meronim. Bandung: Mizan.
No comments:
Post a Comment