PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PERSPEKTIF NEUROSAINS ROBOTIK AKADEMIK DAN SAINTIFIK - Sang Pengejar Angin

Breaking

Tuesday, February 16, 2021

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PERSPEKTIF NEUROSAINS ROBOTIK AKADEMIK DAN SAINTIFIK



CITA NUGRAENI HARSANTI,S.Pd

Mahasiswa  S2 Pendas Pascasarjana UPGRIS

 

Email: cytanugraeniharsanti@gmail.com


Abstract

 

Early Childhood Education (PAUD) is faced with political, academic and theological dilemmas. On the one hand, PAUD is required to organize learning to read, write and count, including reading and writing of the Qur'an, but on the other hand, the Directorate General of PAUD prohibits it. The purpose of this study is to describe the types of early childhood learning in neuroscience studies. This research was conducted by involving several PAUD institutions. This research approach is qualitative. Data techniques such as interviews, observation and documentation. The collected data were analyzed descriptively, interpretatively, and comparatively. The results showed that PAUD in Yogyakarta can be placed into three. First, robotic PAUD, which is PAUD at risk of damaging children's brains. Second, academic PAUD, namely PAUD which is at risk of stunting the child's brain. Third, scientific PAUD, which is PAUD which is oriented towards optimizing brain potential.

 

Keywords: PAUD, Neuroscience, Academic Robotics and Scientific.

 

Abstrak

 

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dihadapkan pada dilema politis, akademis, dan teologis. Di satu sisi PAUD dituntut menyelenggarkan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung, termasuk Baca Tulis Al-Qur’an, namun di sisi lain Direktorat Jenderal PAUD melarangnya. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan tipe- tipe pembelajaran anak usia dini dalam kajian neurosains. Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan beberapa lembaga PAUD. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Data-data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, interpretatif, dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PAUD di Yogyakarta dapat dipetakkan menjadi tiga. Pertama, PAUD robotik, yaitu PAUD yang beresiko merusak otak anak. Kedua, PAUD akademik, yaitu PAUD yang beresiko membonsai otak anak. Ketiga, PAUD saintifik, yaitu PAUD yang berorientasi pada optimalisasi potensi otak.

 

Kata Kunci: PAUD, Neurosains, Robotik  Akademik dan Saintifik.

 

A.PENDAHULUAN

Hubungan antara orang tua dan masyarakat dengan lembaga pendidikan, khususnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Suyadi dan Maulidya Ulfa 2013) yang menurut Ki Hadjar Dewantoro seharusnya sinergis (tri pusat pendidikan) (Dewantara  1962:  3) kini mengalami disharmonis. Di satu sisi masyarakat atau orangtua memiliki tuntutan ganda selain anak harus memiliki karakter atau akhlak yang baik (Prasekolah and Zulaikhah n.d., 2013: 355), (Ali 2015: 190) anak juga harus kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung).

Tetapi di sisi lain, lembaga PAUD dilarang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (Dirjen PAUD) tidak boleh menyelengarakan pembelajaran calistung (Nasional, Jenderal, and Menengah 2009). Jika PAUD mengikuti tuntutan masyarakat berarti PAUD tersebut harus melanggar larangan Dirjen PAUD sekaligus melakukan mal praktik pembelajaran yang berpotensi merusak otak anak. Namun jika PAUD mengindahkan larangan Dirjen PAUD untuk tidak menyelenggarakan pembelajaran calistung, maka PAUD tersebut akan ditinggalkan masyarakat, sepi peminat, bahkan dimungkinkan tutup. Dalam situasi yang serba dilematis tersebut, semua lembaga PAUD melakukan “rekayasa” agar tidak melanggar larangan dirjen PAUD, tetapi dapat memenuhi tuntutan orangtua dan masyarakat sehingga anak-anak mereka bisa calistung sejak dini (Ismatul Khasanah 2013: 14), (Stys and Brown 2013).

Meskipun di Indonesia kontroversi calistung baru hangat diperbicangkan akhir-akhir ini, tetapi di Amerika isu tersebut telah dimulai sejak 1988 ketika Connie Juel melakukan penelitian tentang membaca dan menulis bagi anak-anak sampai kelas empat(Juel 1988: 437). Wajar jika saat ini Amerika telah membuat kebijakan nasional untuk mencanangkan gerakan calistung, terutama pembelajaran matematika sejak dini (Committee on Early Childhood Mathematics 2009: viii). Rendahnya kualitas pembelajaran matematika selama berabad-abad disebabkan karena tidak adanya dasar pembelajaran matematika sejak awal, sehingga merugikan masa depan anak, baik secara ekonomi maupun pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri (Ismatul Khasanah 2013). Pendidikan matematika telah menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan anak usia dini (balitas, pra sekolah dan sekolah dasar) di seluruh dunia. Landasan memahami konsep matematika yang berhubungan dengan akal dan angka harus dimulai dari awal kehidupan sebagai benih kehidupan di masa mendatang (Suparni 2016: 57). Teori Vigotsky juga telah dimanfaatkan untuk pembelajaran matematika secara kolaboratif bagi anak usia dini (Cicconi 2014: 57). Bahkan beberapa peneliti Amerika telah spesifik mengembangkan pembelajaran ini khusus bagi anak difabel (Fischer 2009). Penelitian terbaru tentang calistung sudah sampai pada pembuktian bahwa materi akademik pada pendidikan anak usia dini memberi pengaruh kuat bagi pendidikan selanjutnya (Manfra et al. 2017: 528). Bahkan di India, sudah mencanangkan kebijakan kualitas perawatan anak untuk menyiapkan generasi unggul (Reetu 2017: 41).

Penelitian ini mengkaji tentang ragam pembelajaran calitung dalam perspektif neurosains di berbagai lembaga PAUD secara tipologis. Pemetaan ini penting dilakukan dalam rangka merumuskan model pembelajaran anak usia dini (termasuk calistung) terbaik, yang sesuai dengan perkembangan dan karakteristik cara kerja otak (Dundar and Ayvaz 2016). Mengingat pembelajaran menyangkut banyak aspek, maka pemetaan ini diperluas tidak hanya obyek pembelajaran itu sendiri, melainkan juga subyeknya yang mencakup guru, siswa, materi, strategi dan evaluasi. Berdasarkan pemetaan tersebut, masyarakat dapat menentukan pilihan PAUD terbaik bagi anak-anak mereka. Bagi lembaga PAUD sendiri dapat memperbaiki proses pembelajaran menyesuaikan temuan-temuan dalam penelitian ini, yakni sesuai perkembangan dan karakteristik cara kerja otak.

Penggunaan perspektif neurosains diperlukan mengingat neurosains saat ini telah menjadi dasar bagi praktik pembelajaran anak usia dini (George S. Morrison 2012:  44)  (Morrison  2007: 10). Dalam kajian neurosains, stimulasi edukatif yang bersifat abstrak seperti calistung, tidak dapat direspons anak usia dini karena perkembangan otaknya masih pada tahap pra operasional sehingga beresiko “merusak” otak. Tetapi, memberikan stimulasi yang sifatnya empirik dengan muatan akademik yang terlalu tinggi, termasuk calistung, juga dapat beresiko “membonsai” otak anak. Hanya stimulasi yang benar-benar sesuai dengan perkembangan otak anak yang dapat mengoptimalkan potensi otak anak.

 

B . PEMBAHASAN

Pemetaan atau tipologi PAUD dalam penelitian ini diukur dari kesesuaiannya dengan hasil-hasil penelitian tentang otak atau neurosains, terutama neurosains pendidikan (Pasiak 2016: 132). Menurut teori pembelajaran neurosains, kortek prefrontal (otak bagian luar yang berfungsi untuk berpikir kritis dan kreatif) pada otak anak usia dini belum berkembang maksimal sehingga belum bisa merespons stimulus yang sifatnya abstrak dan rasional, seperti calistung (Anderson-McNamee 2010). Karakteristik otak pada tahap ini baru bisa menerima stimulus yang sifatnya kongkrit dan empirik, seperti bermain (Nouri 2016).

Berdasarkan penjelasan neurosains  ini, PAUD yang memberikan stimulasi abstrak tidak sesuai dengan perkembangan otak anak sehingga berisiko merusak  otak anak. Dalam hal ini, PAUD yang berpotensi merusak otak anak disebut sebagai PAUD Robotik. Disebut robotik karena praktik pembelajarannya seperti robot, tidak memakai otak, atau tidak mengacu pada cara kerja otak sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu otak (neurosains).

Mengingat jika PAUD hanya mengikuti teori pembelajaran neurosains sepenuhnya akan  ditinggalkan  masyarakat  karena tidak membelajarkan calistung, maka sebagian besar melakukan rekayasa melalui bermain (bermain sambil belajar: calistung). Semua kegiatan dan atau permainan diberi muatan calistung agar anak mampu calistung. Dengan kata potensi otak anak yang luar biasa hanya digunakan untuk mempelajari calistung. Hal ini sama saja dengan pembonsaian atau pengkerdilan potensi otak.

Dalam neurosains dijelaskan bahwa anak yang baru lahir mempunyai 100-200 miliyar neuron (Pasiak 2009: 91). Pada usia dua tahun perkembangan otaknya telah mencapai 75%, pada usia 5 tahun perkembangan otaknya telah mencapai 90% dan pada 10 tahun perkembangan otaknya telah mencapai 99% (Suyadi 2014: 35). Di atas usia ini, perkembangan otak anak semakin melambat sehingga untuk mencapai 100% perlu menunggu hingga usia 18 tahun. Oleh karena itu, PAUD yang mengorientsikan semua kegiatan hanya untuk pengembangan kompetensi akademik, seperti calistung dapat dikatakan sebagai PAUD yang beresiko membonsai potensi otak anak. Di katakan membonsai otak karena potensi otak yang luar biasa hanya digunakan untuk pengembangan satu bidang, yakni kompetensi akademik dengan indikator calistung.

Dalam hal ini, PAUD yang berpotensi membonsai otak anak disebut sebagai PAUD akademik. Disebut PAUD akademik karena orientasi utamanya PAUD Robotik dan akademik jelas bukan tipe PAUD ideal. PAUD yang ideal adalah PAUD yang sesuai dengan teori-teori pembelajaran, khususnya neurosains. PAUD inilah yang mampu melakukan optimalisasi potensi otak anak. Dalam hal ini, PAUD yang berorientasi pada optimalisasi potensi otak anak disebut dengan istilah PAUD Saintifik. Disebut PAUD Saintifik karena praktik pembelajarannya selalu mengacu teori-teori di bidang neurosains. PAUD Saintifik tidak merekayasa pembelajaran calistung sehingga anak-anak tidak sadar sedang belajar calistung; mereka tidak belajar calistung namun di akhir kegiatan memiliki kompetensi akademik yang bagus. PAUD Saintifik memandang anak yang bisa calistung sejak dini belum tentu cerdas, demikian pula sebaliknya,  anak- anak yang belum bisa calistung sejak dini belum tentu tidak cerdas. Pasalnya, dalam neurosains konsep kecerdasan tidak diukur dari kopetensi calistung, nemun jauh lebih luas, yang mencakup IQ, EQ, SQ dan Multipe Intellegences.

Oleh karena itu, penelitian ini memetakkan tipologi PAUD berdasarkan teori neurosains menjadi tiga tipe, yakni PAUD Robotik, PAUD Akademik, dan PAUD Saintifik. Mengingat bahwa calistung pada jenjang PAUD melibatkan setidaknya lima komponen, yakni guru, anak didik, materi pembelajaran, strategi pembelajaran atau dan evaluasi pembelajaran (Suyadi dan Maulidya Ulfa 2013: 56), maka penelitian ini merinci ciri-ciri PAUD Robotik, Akademik dan Saintifik berdasarkan kelima komponen tersebut.

1.   PAUD  Robotik

Secara etimologi, kata “robot” diartikan sebagai alat berupa orang-orangan dan sejenisnya yang bisa bergerak (berbuat seperti manusia yang dikendalikan oleh mesin. Di samping itu, robot juga diartikan sebagai orang yang menurut saja terhadap perintah orang lain. Dalam kamus Bahasa Indonesia dicontohkan, “Pakailah otakmu, jangan seperti robot saja.” Di dunia maya, istilah robot diartikan sebagai serangkaian perangkat elektronik yang dapat dikendalikan secara mekanis utuk membantu keperluan manusia. Secara terminologi, menurut Munif Chatib istilah robot dilawankan dengan sekolahnya manusia (Chatib 2009: 91).

Menurutnya, sekolahnya robot adalah sekolah yang menggunakan sejumlah tes ketika masuk, ingin mencetak semua anak yang berlatar belakang berbeda menjadi berkemampuan sama, menerapkan sistem ranking kelas, membuat kategori-kategori tertentu dan lain sebagainya (Chatib 2012: 61). Dalam hal ini, Munif Chatib tidak membuat definisi operasional mengenai sekolahya robot yang dimaksud, melainkan sebatas menyebutkan beberapa ciri-cirinya. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa secara umum, yang dimaksud PAUD Robotik di sini adalah PAUD yang beresiko merusak otak anak. Berikut ini penjelasan lebih detail mengenai ciri-ciri PAUD robotik ditinjau dari lima komponen pendidikan, yakni guru, anak didik, strategi, materi dan evaluasi.

a.         Guru Robotik; diktator kelas

Guru pada PAUD robotik (guru robotik) adalah dictator kelas yang mengajar dengan segala otoritasnya. Meminjam istilah Freire, ia mengajar dengan cara menggurui, guru mengajar anak diajar, guru memberi tahu anak diberitahu, guru mengatur anak diatur, guru memerintah anak diperintah dan seterusnya (Freire 2008: 34). Guru robotik banyak mengeluarkan instruksi, perintah, dan larangan yang harus ditaati anak tanpa boleh dibantah. Pada situasi tertentu, jika terdapat anak yang tetap tidak bisa diam maka guru robotik akan memberi hukuman, seperti jewer (menarik telinga anak), slentik (memukul telinga anak dengan jari tengah), jiwit (semacam dicubit namun dengan kebencian), dan lain sebagainya (Hook and Farah 2013). Jika anak yang dikenai hukuman menangis, biasanya guru pendamping menarik anak tersebut ke luar kelas. Ibu Musyarifah mengatakan, “Masih banyak, bahkan lebih dari 70% guru PAUD yang mengajar menjadi penguasa kelas, dan dia senang jika anak menjadi diam dan penurut.”

Guru robotik juga dicirikan dengan banyaknya memberi perintah dan larangan, sehingga anak benar-benar dikendalikan. Jika pedagogi ini dilihat dari kacamata neurosains, maka otak anak dalam situasi tegang dan takut-mencekam, sehingga tidak dapat berkembang. Lihat salah satu contoh situasi berikut ini:

                                                     

 

 

Gambar 1a

Guru sedang memberi perintah, instruksi, dan sejumlah larangan kepada anak-didik agar duduk manis diam terpaku dengan meletakkan tangan di atas meja dalam keadaan dilipat.

Gambar 1b.

 Tulang belakang anak menegang (peradangan batang otak/ sumsum tulang belakang) ketika duduk lebih lama. Tulang belakang anak tidak atau belum didesain untuk duduk dalam jangka waktu lama karena dapat merusak jiwa dan badan (Eric Jensen 2010: 96)

Gambar 1a dan 1b di atas menjelaskan bahwa guru sedang memberikan instruksi agar anak duduk diam terpaku dengan melipat tangan di atas meja. Padahal, dalam neurosains, anak usia dini belum “didesain” untuk posisi tersebut (Clark 2017). Bagi anak, duduk adalah kerja keras yang menimbulkan kelelahan badan, menurunkan konsentrasi, meningkatkan kegelisahan (cemas), dan berpotensi menimbulkan masalah pada kedisiplinan (Eric Jensen, 2010: 96). Duduk dalam waktu yang lama tanpa jeda menjadikan tulang belakang meradang, tubuh lelah dan pernapasan menyempit. Sedangkan Guru robotik berpandangan bahwa anak yang baik adalah anak yang selalu taat dan patuh terhadap perintah guru, termasuk harus duduk manis diam terpaku melipat tangan di atas meja dalam jangka waktu yang lebih lama.

b.          Anak-anak robotik; obyek pembelajaran

Anak-anak robotik adalah anak-anak yang dijadikan diam membisu oleh gurunya sehingga ia hanya akan “bergerak” sesuai perintah dan instruksi guru. Mereka tampak tekun, rajin, dan rutin mematuhi semua instruksi guru, namun semua itu dilakukan bukan karena anak tersebut respek dan nyaman dengan gurunya, melainkan karena rasa takut: takut gurunya marah, takut salah, takut dihukum, takut dianggap anak nakal, dan lain sebagainya (Erden 2016).

Anak-anak robotik, belajar ke lembaga PAUD juga lebih didorong oleh perintah bahkan paksaan, bukan atas keinginannya sendiri. Mereka tidak begitu memperedulikan apakah di sekolah dirinya lebih riang gembira atau sebaliknya. Anak-anak robotik mengesampingkan perasaannya sendiri demi “menyenangkan” dan mematuhi perintah orang tua atau gurunya. Dengan demikian, anak- anak robotik ke sekolah bukan untuk dirinya, namun untuk orang tua dan gurunya.

c.         Materi pembelajaran robotik

Materi pembelajaran robotik adalah materi pelajaran yang oleh guru dipandang baik sehingga wajib dikuasai anak. Akan tetapi, anak itu sendiri tidak merasa membutuhkan materi tersebut bahkan meskipun telah dipelajari, anak tidak menangkap makna yang berarti dalam hidupnya. Materi pembelajaran robotik bersifat anti realitas, bahkan terkesan utopis. Anak-anak dipaksa mempelajari materi tertentu meskipun mereka menjadi semakin menderita di sekolah.

d.           Strategi Pembelajaran Robotik; Mekanik

Strategi pembelajaran pada PAUD robotik adalah strategi pembelajaran  yang mekanistik,  atau  metode  pembelajaran  yang monoton (ajeg). Jika dianalisis karakteristik guru dan anak-anak robotik sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa pola pembelajaran robotik bersifat satu arah (guru-anak). Konsekuensinya, strategi pembelajaran bersifat indoktrinatif, bukan transformatif, dan jauh dari kata trans-internalistik.

e.        Evaluasi  pembelajaran  labelistik

Andre…. JANGAN NAKAL!


Ciri utama model evaluasi dalam PAUD robotik adalah pelabelan atau labelistik. Meskipun secara dokumentatif- admisnistratif guru-guru robotik ini menggunakan teknik skala bintang satu (*/1*) sampai empat (****/4*), namun dalam praktiknya, ia sering mengeluarkan statemen-statemen tertentu (label) untuk menilai anak didiknya (Abramov and Russian 2017). Dengan kata lain, secara lahiriah ia melakukan evaluasi memenuhi standar administrasi-dokumentatif, namun secara batiniah (evaluasi terbatinkan), ia menjustifikasi anak didiknya dengan label-label tertentu. Bukti mengenai hal ini dapat diamati pada gambar 2 yang menunjukkan bahwa dalam reaksi spontan, ketika anak didik melanggar aturan (bicara sendiri ketika guru menjelaskan), secara refleks, guru tersebut langsung mengatakan, “Andre, jangan nakal!”.

 

Guru robotik melakukan labelling secara reflek terhadap anak didik yang tidak menuruti instruksi atau perintahnya dengan kata “nakal.”

 

Model evaluasi labelling di PAUD robotik tersebut akan semakin jelas ketika sejak awal peneliti memasuki PAUD-PAUD di pelosok pedesaan. Dengan demikian, sebelum melakukan evaluasi pembelajaran, guru-guru robotik telah mempunyai label negatif tentang anak didik mereka. Hal ini menunjukkan bahwa model evaluasi labelling berjalan secara batiniah di hampir semua lembaga PAUD robotik. Bila PAUD robotik ini ditabulasikan secara terperinci, akan tampak sebagai berikut.

 

Tabel 1. Ciri-ciri PAUD Robotik

 

Aspek

Ciri-ciri

 

Konsep dasar

PAUD robotik adalah PAUD yang beresiko merusak otak anak, karena terlalu banyak instruksi, perintah, larangan dan hukuman yang membuat suasana kelas menjadi mencekam sehingga mematikan kreatifitas otak anak.

Guru

Guru robotic adalah dictator kelas yang bersikap mekanistik, otoritatif, dan indoktrinatif.

 

 

Anak didik

Anak didik di PAUD robotik adalah anak-anak yang dijadikan diam membisu oleh gurunya, sehingga ia hanya akan bergerak sesuai perintah dan instruksi guru. Mereka belajar bukan karena ingin pintar, melainkan sekadar mematuhi orangtua dan mentaati instruksi guru, di samping paksaan dari keduanya.

 

M a t e r i / kurikulum

Materi pembelajaran robotik adalah materi pelajaran yang oleh guru dipandang baik dan wajib dikuasai anak, namun anak itu sendiri tidak merasa membutuhkan materi tersebut bahkan meskipun telah dipelajari anak tidak menangkap makna yang berarti dalam hidupnya.

S t r a t e g i pembelajaran

Strategi pembelajaran di PAUD robotik bersifat mekanistik, perintah, nasihat, dan petuah disertai ancaman dan hukuman.

 

Evaluasi

Secara lahiriah evaluasi di seluruh lembaga PAUD (termasuk robotik) adalah mengikuti standar penilaian. Namun secara batiniah evaluasi yang berlangsung di PAUD robotik adalah pelabelan.

 

1.   PAUD Akademik

Secara etimologi, kata “akademik” diartikan sebagai bersifat teoretis tanpa arti praktis secara langsung. Pada umumnya, istilah akademik selalu disinonimkan dengan Perguruan Tinggi (Nasional, 2012: 12). Pada jenjang inilah pembelajaran bersifat akademis, teoretis, bahkan seringkali filosofis.  Berdasarkan  maknanya  secara etimologi ini, istilah “akademik” dapat diartikan sebagai pembelajaran yang bersifat konseptual (Manfra et al. 2017). Secara terminologi, istilah akademik dapat dimaknai sebagai pendidikan, keilmuan, logika matematika, sains, dan ilmu pengetahuan. Istilah “akademik” juga sering melekat pada kalimat “Tes Potensi Akademik” yang berarti uji logika. Berdasar pengertian terminologi ini, istilah “akademik” dapat diartikan sebagai pendidikan yang menekankan pada pengembangan kognitif.


Gambar 3. Suasana kelas PAUD akademik

Berdasarkan pengertian akademik, baik secara etimologi maupun terminologi di atas, yang dimaksud dengan PAUD akademik Di sini adalah PAUD  yang beresiko membonsai otak, karena potensi otak anak yang luar biasa hanya digunakan untuk mengembangkan kompetensi akademik (logika matematika, sains, bahasa,) melalui pembelajaran calistung. Dengan kata lain, Gambar 3 di atas mencerkan suasana kelas pada PAUD akademik yang mirip dengan sekolah dasar dan menengah. Selanjutnya, berikut ini dijelaskan ciri- ciri PAUD akademik secara sistematis.

a.    Guru PAUD  akademik  sebagai  fasilitator

Guru pada PAUD akademik cenderung berparadigma tunggal bahwa kecerdasan sebatas kemampuan di bidang akademik, yakni pengembangan logika, matematika, sains, bahasa dan baca-tulis ( Juel 1988). Di luar kompetensi akademik tersebut, dipandang sebagai kecerdasan sekunder. Ia berpandangan bahwa anak yang baik atau anak yang cerdas adalah anak yang mempunyai keunggulan di bidang akademik. Misalnya, guru lebih respek terhadap anak yang tulisannya lebih rapi daripada yang tulisannya nyeni (mirip lukisan, untuk tidak mengatakan seperti cakar ayam). Gambar 3a-b menunjukkan proses pembelajaran menulis anak TK kelas B (usia 5,5 tahun).

       

                  

Gambar 3a-b. Tulisan anak akademik pada jenjang TK/RA.

Pada akhir kegiatan, guru-guru PAUD akademik selalu menanyakan selesai atau tidak tugas yang diberikan. Muara dari pertanyaan tersebut adalah sudah selesai menulis atau belum. Artinya, guru PAUD akademik selalu mencanangkan selesainya tugas-tugas pembelajaran yang bercorak akademis (Omar 2015). Guru akademik sebagai fasilitator tetap berorientasi agar anak didik mempunyai kompetensi akademis tinggi. Oleh karena itu, fasilitas yang diberikan sebatas menunjang kemampuan ini. Sedangkan aspek-aspek lain, seni, misalnya, kurang menjadi perhatian guru-guru PAUD akademik.

b.   Anak-anak akademik

Anak-anak  akademik  adalah  mereka  yang  lebih  banyak melakukan kegiatan terkait tugas-tugas akademik, seperti belajar logika matematika, bahasa (membaca dan menulis), serta sains dan ilmu pengetahuan. Mereka mengejar “bintang”, nilai, prestasi, dan penghargaan lainnya (Kara, Aydin, and Cagiltay 2013). Semuanya dilakukan bukan karena mereka memiliki keunggulan di bidang kecerdasan matematis logis sebagaimana disebutkan Gardner dalam Multiple Intelligences, namun lebih karena tuntutan orangtua dan guru. Lebih dari itu, anak-anak akademik oleh kedua orangtua mereka  telah  diikutkan  les  (pembelajaran  tambahan  di  luar jam sekolah) untuk mengikuti baca-tulis dan berhitung. Pembelajaran Calistung  telah  menjadi  “hantu”  bagi  orangtua,   seolah-olah jika anaknya lulus TK belum  bisa  calistung  merupakan  “aib”  bagi keluarga.

c.    Materi pembelajaran akademik; satu tigkat di atas kemampuan  anak

Materi pembelajaran pada PAUD akademik sesuai dengan namanya, adalah kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pengembangan kompetensi akademik, seperti membaca perluman atau keaksaraan (Sulastri Yusro 2013: 342) berhitung atau mengenal angka dan bilangan (Ismatul Khasanah 2013: 14) bahasa, sains dan lain sebagainya (Aulina, 2012: 131). Bahkan, beberapa PAUD telah mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing (bilingual) (Garrity et al. 2018: 1), baik bahasa arab, inggris maupun mandarin. Semua kegiatan pada tiap-tiap tema pembelajaran, termasuk bermain (Anderson-McNamee, 2010: 2) syarat dengan muatan akademik. Seolah-olah kegiatan pembelajaran akan kehilangan maknanya tanpa capaian akademis tertentu. Gambar 4a-b-c menunjukkan buku ajar pada PAUD akademik.

 

                                                 

 

 

Gambar 4a-b-c. Materi pembelajaran PAUD akademik

Materi pembelajaran akademik pada dasarnya merupakan materi pembelajaran yang selalu satu tingkat lebih tinggi dari kemampuan anak sehingga anak akan belajar lebih keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Misalnya, materi pembelajaran SD sepuluh tahun yang lalu telah diajarkan pada TK hari ini.

d.   Strategi  pembelajaran dinamik

Secara  umum,  strategi  pembelajaran  yang  digunakan  di PAUD akademik relatif dinamik, seperti storytelling (Ma et al. 2012), story reading (Isbell et al. 2004), digital storytelling (Robin 2008) dan lain sebagainya. Strategi pembelajaran yang dominan    di PAUD adakademik adalah bermain, sehingga terkenal dengan slogan, “bermain seraya belajar atau belajar seraya bermain) (Istiyani, 2013: 3-5). Beberapa PAUD menjadikan strategi ini sebagai slogan dalam pembelajaran. Namun demikian, dalam praktiknya bentuk konkret metode tersebut sulit dikenali. Artinya, satu kegiatan dapat dimaknai sebagai bermain, belajar, atau keduanya masih menjadi perdebatan. Jika parameter bermain adalah rasa senang (Anggani Sudono, 2006: 8) yang dialami anak,


maka kegiatan yang sama dapatmenimbulkan perasaan yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Gambar 6 menunjukkan permainan yang syarat dengan kompetensi akademik.

 

Gambar 6. Alat   Permainan  Edukatif (APE) Akademis , balok  Pasak  Bersusun

Gambar 6 mengindikasikan bahwa hampir semua bentuk permainan di lembaga PAUD telah bergeser dari edukatif  ke akademik. Muatan angka dan huruf yang kemudian anak diminta menyusunnya secara berurutan sehingga membentuk pola tertentu adalah salah satu indikasinya (Anderson-McNamee 2010). Bahkan saat ini telah banyak dikembangkan multimedia pembelajaran interkatif untuk pengenalan angka dan huruf bagi anak usia dini (Istiyani, 2013: 169). Hal ini mengundang tanda tanya, apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan bermain dalam konteks pembelajaran anak usia dini? Telah banyak pakar yang membicarakan hal ini, namun semuanya belum berhadapan dengan realitas kontekstual sebagaimana dideskripsikan di atas.

e.    Penilaian  berbasis tes  dan kompetensi akademik

Model evaluasi pembelajaran di lembaga PAUD akademik cenderung memberi penghargaan berlebihan terhadap prestasi akademik anak melalui tes dan non-tes Meskipun penghargaan tersebut sebatas tepuk tangan, “tepuk tangan untuk si A” atau pujian tertentu, “anak pintar”, termasuk pemberian bintang (*), namun semuanya dimaksudkan untuk memacu anak agar mampu menyelesaikan tugas lebih baik agar semakin banyak penghargaan yang diperoleh.

Selanjutnya, evaluasi pembelajaran PAUD akademik selalu dicirikan dengan sejumlah tes yang sifatnya kognitif (Dundar and Ayvaz 2016). Tes di sini bukan berarti sejumlah soal yang harus dijawab pada lembar kerja seperti anak-anak sekolah, namun sejumlah pertanyaan post test setelah anak-anak melakukan kegiatan pembelajaran. Pada umumnya, model evaluasi ini berujung pada sistem ranking kelas yang menempatkan anak dengan skor tertinggi atau bintang terbanyak pada posisi teratas atau peringkat teratas. Sedangkan anak-anak dengan skor rendah dan hanya sedikit bintang ditempatkan pada posisi terendah.

 

 

 

 

 

 

Tabel. 2 Cri-ciri PAUD Akademik

 

Aspek

Ciri-ciri

Konsep dasar

PAUD akademik adalah PAUD yang beresiko membonsai otak anak, karena potensi otak yang luasr biasanya hanya diorientasikan pada pengembangan akademik semata.

Guru

Fasilitator pengembangan kompetensi akademik, sepeti membaca, menulis, berhitung, sain dan lain sebagainya.

Anak didik

Anak didik dipandang sebagai makhluk pembelajaran yang bertugas mempelajari segala hal.

Materi/ kurikulum

Materi pembelajaran didominasi pengembangan kemampuan akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung.

Strategi pembelajaran

Secara teoretis “bermain seraya belajar, belajar seraya bermain”, namun secara praktis, “bermain kemudian belajar.”

Evaluasi

Prates-post tes, ujian tulis.

 

2.   PAUD Saintifik

Secara etimologi, istilah saintifik berasal dari kata “sains” yang berarti ilmu sistematis yang dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan data-data empirik. Saintifik juga dapat dimaknai sebagai disiplin ilmu yang sifatnya ilmiah (Nasional, 2012: 495). Secara terminologi, istilah saintifik-termasuk neurosains-diartikan sebagai bentuk sains secara khusus, yakni ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis dan obyektif serta dapat diteliti kebenarannya (Achmad Maulana, 2004: 213). PAUD saintifik di sini didefinisikan sebagai PAUD yang berorientasi pada pengembanan potensi otak anak didik secara  holistik. PAUD saintifik merupakan kebalikan dari PAUD robotik sekaligus pengembangan dari PAUD saintifik. Jika PAUD robotik adalah PAUD yang beresiko merusak otak anak, sementara PAUD akademik merupakan PAUD yang beresiko membonsai  otak  anak, maka PAUD saintifik adalah PAUD yang berorientasi pada optimalisasi seluruh potensi otak anak. PAUD saintifik tidak lagi memperdebatkan pembelajaran calistung, bahkan telah mengarah pada pengembangan robotika pembelajaran anak usia dini yang mengintegrasikan seni, musik dan teknik, termasuk calistung di dalamnya, seperti yang dilakukan oleh Singapura (Sullivan and Bers, 2017: 1). Berikut ini dikemukakan ciri-ciri PAUD saintifik dilihat dari sisi guru, anak didik, materi pembelajaran, metode atau strategi, dan sistem evaluasi.

a.    Guru saintifik (Insinyur pembelajaran)

Guru saintifik adalah insinyur pembelajaran yang aktif menyusun rancang bangun stimulasi edukatif bagi optimalisasi potensi otak. Ia merupakan guru transformatif atau  pemimpin  bagi anak-anak untuk melakukan peruhahan berpikir dan perspesi (Erden, 2016: 134). Guru saintifik sering menjadi idola bagi anak-anak seperti bintang film  (Schwarz-Franco,  2016:  994). Guru saintifik juga giat melakukan riset di dalam kelas (semacam penelitian tindakan kelas/PTK) (Suyadi, 2011: 15), membuat eksperimen pembelajaran (Yunanda et al., 2015: 25), dan haus akan inovasi pembelajaran serta aktif melakukan uji coba strategi-strategi pembelajaran terbarukan (Yunus, 2017: 48). Mereka juga motivator bagi anak untuk membangun rasa percaya diri secara kokoh (Rahman, 2013: 375). Termasuk dalam hal ini adalah perlakukan guru saintifik yang yang membedakan antara anak yang memiliki kecepatan belajar tinggi dan anak yang mengalami keterlambatan berpikir (Iigaya et al., 2017: 1-2).

Guru saintifik ketika mengajar bagaikan “memahat” otak anak-didiknya melalui berbagai treatment pembelajaran, termasuk memberi tantangan fisik yang dibedakan antara anak laki-laki dan perempaun karena keduanya memiliki karakteristik ketangkasan yang berbeda (Lander et al., 2017: 113). Inilah yang membedakan guru robotik dan akademik dengan guru saintifik. Jika guru robotik mengajar dengan menjadi diktator di dalam kelas, guru akademik mengajar dengan menjadi fasilitator, maka guru saintifik mengajar dengan menjadi katalisator.

b.     Anak-anak saintifik sebagai reaktor

Anak-anak saintifik, bukan sekadar calon saintis sebagaimana anak-anak akademis yang dicetak untuk menjadi akademisi. Anak saintifik adalah anak yang tumbuh dan berkembang seluruh potensi otaknya secara optimal. Mereka tidak hanya memiliki kecerdasan tunggal secara intelektual, melainkan kecerdasan ganda (majemuk). Mereka berangkat ke sekolah (PAUD)  bukan  karena  perintah  dan paksaan orangtua seperti anak-anak robotik dan akademik, melainkan atas dorongan hasrat rasa ingin tahu yang berkobar dalam dirinya. Mereka berangkat ke sekolah (PAUD) seakan mengemban visi emosional, kebebasan berekspresi, berimajinasi, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum PAUD saintifik sangat mengedepankan pembelajran emosi (Clark, 2017:2) atau dengan istilah lain pengembangan karakter. Jika anak-anak robot merasa dipenjara sepanjang proses pembelajaran di sekolah (PAUD), sedangkan anak-anak akademik merasa terbebani atas tugas-tugas akademik, maka anak-anak saintifik merasa ditantang untuk melakukan banyak kegiatan pembelajaran. Beberapa anak lebih memilih untuk berlama-lama di sekolah daripada harus segera pulang ke rumah.

c.      Materi pembelajaran saintifik

Materi pembelajaran (kurikulum) pada PAUD saintifik adalah stimulasi edukatif, termasuk bermain (Alabekee, 2015: 2), khususnya kegiatan yang yang bermakna dalam kehidupan anak dan disesuaikan dengan kebutuhan masa depan anak (Mustaqim n.d., 2014: 1). Sebagaimana PAUD akademik yang mulai mengajarkan bahasa kedua (bilingual), (Garrity et al. 2018: 1) PAUD saintifik juga telah membekali anak dengan mengenalkan bahasa asing (Spies et al. 2017: 23). Materi pembelajaran dikemas secara empiris dan ditata sedemikiran rupa supaya mengundang decak kagum anak didik sehingga materi tersebut melekat dalam ingatan memori otaknya.

Sekadar contoh, seorang guru PAUD mengemas materi pembelajaran “Rekreasi” dengan subtema “Perlengkapan Rekreasi, Nasi” secara empirik di sentra alam. Gambar 8a-b-c menunjukkan materi pembelajaran pada PAUD saintifik.

 

 

 

 

 

                                                                          

         

   Gambar 8. Materi pembelajaran saintifik

d.    Strategi  pembelajaran sebagai  generator

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa strategi pembelajaran pada PAUD saintifik adalah rancang bangun stimulasi edukatif secara instrumentatif yang sifatnya variatif dan imajinatif (Colwyn Trevarthen, 2017: 1) serta dilakukan secara sistematis (Lubis et al., 2010: 665), bukan mekanistik dan dinamik seperti di PAUD robotik dan akademik. Di samping itu, strategi pembelajaran pada PAUD saintifik lebih banyak mengadopsi metode-metode pembelajaran quantum, seperti accelerated learning, quantum learning, active learning, multiple intelligences, coperative learning dan lain sebagainya (Tengah n.d., 2015: 279). Di Indonesia, strategi-strategi ini masih sebatas wawasan guru, belum menyentuh ranah praksis di ruang kelas pembelajaran.

Jika di atas disebutkan bahwa guru saintifik adalah katalisator, sementara anak-anak saintifik adalah reaktor, sedangkan materi pembelajaran sebagai stimulator, maka strategi pembelajaran saintifik adalah generator. Strategi pembelajaran quantum, termasuk multiple intelligences, bagaikan generator yang bekerja secara mikroskopis menghubungan neuron bermuatan informasi yang satu dengan neuron bermuatan informasi lainnya, kemudian bereaksi membentuk senyawa kimia baru yang kemudian dalam konteks pendidikan disebut ide kreatif dan imajinatif (Vygotsky 2004) .

a.         Evaluasi  autentik, menggali  keunikan  potensi anak

PAUD   saintifik   menggunakan   model   evaluasi  autentik (authentic assesment). Asesmen autentik adalah proses evaluasi yang bermakna secara signifikan untuk mengukur kinerja, prestasi, motivasi, dan sikap pada ranah keterampilan dan pengetahuan sepanjang proses pembelajaran. Dalam konteks PAUD saintifik, asesmen autentik dimaksudkan untuk membuka rahasia potensi diri yang tersimpan dalam keunikan otaknya (Yunus, 2017: 48).

PAUD saintifik, dengan multiple intelligences sebagai basis strategi pembelajaran, mustahil menggunakan model evaluasi kovensional yang hanya menggunakan kriteria tunggal secara terstandar. Penilaian autentik setidaknya dicirikan oleh empat indikasi, yakni (1) belajar tuntas, (2) proses berkesinambungan, (3) multikriteria dan (4) penggunaan teknik penilaian yang bervariasi. Belajar tuntas berarti anak tidak akan melakukan kegiatan lain sebelum kegiatan yang satu selesai (Yunus 2017). Menggunakan multikriteria berarti penilaian tidak sebatas ranah kognitif seperti pada PAUD akademik, tetapi juga mencakup afektif dan psikomotorik, di samping kecerdasan majemuk itu sendiri. Menggunakan teknik penilaian yang variatif berarti guru cermat memilih teknik evaluasi tertentu untuk menilai kegiatan tertentu pula.

 

 

SIMPULAN

Diferensiasi tipologi PAUD di atas terjadi pada tingkat mikroskopis atau soft-reality. Artinya, dalam sebuah lembaga atau institusi PAUD, di dalamnya memungkinkan untuk terjadi campuran ketiga tipe pembelajaran, baik robotik, akademik maupun saintifik. Para orangtua dan masyarakat dapat mencermati kelima komponen PAUD (guru, anak didik, materi/ kurikulum, metode dan evaluasi) mana PAUD yang lebih dominan saintifiknya dari pada robotik dan akademik.

Harus diakui, di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah belum ada PAUD saintifik secara sempurna, baik gurunya, anak didiknya, materinya, strategi pebelajarannya, dan ebaluasi maupun evaluasi pembelajarannya. Bagi para pengelola lembaga PAUD, pemetakkan yang menukik secara detail seperti ini dapat mengidentifikasi, aspek-aspek mana yang harus dipertahankan (sudah saintifik) dan aspek-aspek mana yang harus ditingkatkan (masih akademik) serta aspek-aspek mana yang harus dirubah secara total, karena masih  robotik.

Bagi para pengelola PAUD pemetaan ini dapat menjadi bahan untuk membersihkan  praktik-praktik  pembelajaran  robotik, memperbaiki pembelajaran yang masih akademik dan mengembangkan PAUD  saintifik lebih variatif. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur kategori pada masing-masing tipologi PAUD (robotik, akademik, dan saintifik), baik gurunya, anak didiknya, materi pembelajarannya, strategi pembelajarannya, maupun evaluasi pembelajarannya.Berdasarkan penjelasan di atas, sudah seyogyanya PAUD robotik memetamorfosis diri menjadi PAUD saintifik, PAUD akademik menggeser diri ke arah PAUD saintifik dan PAUD saintifik terus mengembangkan diri lebih variatif.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Achmad Maulana, Dkk. 2004. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta: Absolut. http://kin.perpusnas.go.id/ DisplayData.aspx?pId=31456&pRegionCode=UNIGOR&p ClientId=136.

Ali, Mahdi M. 2015. “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Anak Usia Dini Mahdi M. Ali Dinas Sosial (Panti Asuhan Nirmala) Kota Banda Aceh.” 1( July): 190–215.

Anderson-McNamee, Jona K. 2010.  “The  Importance  of  Play  in Early Childhood Development.” Family and Human Development: 1–3..

Aulina, Choirun Nisak. 2012. “Kosakata Terhadap Kemampuan Membaca.” 1(2): 131–43.

Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa. www. goodreads.com/book/show/6514168-sekolahnya-manusia.

———. 2012. Orangtuanya Manusia, Melejitkan Potensi Dan Kecerdasan Dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak. Bandung: Kaifa. www.goodreads.com/ book/show/15779180- orangtuanya-manusia.

Cicconi, Megan. 2014. “Vygotsky Meets Technology: A Reinvention of Collaboration in the Early Childhood Mathematics Classroom.” Early Childhood Education Journal 42(1): 57–65.

Clark,  Amy  J.  2017.  “Preschool  Social  Emotional  Learning  and Curriculum  Design :  The  Changing  System  Changing System.”

Colwyn Trevarthen, Jonathan Delafield-Butt. 2017. “Intersubjectivity in the Imagination and Feelings of the Infant: Implications for Education in the Early Years.” http://www.springer.com/us/ book/9789811022746.

Committee on Early Childhood Mathematics. 2009. Mathematics Learning in Early Childhood: Paths Toward Excellence and Equity. eds. Taniesha A. Woods Christopher T. Cross and and Heidi Schweingruber. Washington, D.C.: The National Academies Press.

Dewantara, Ki Hajar. 1962. Karja Ki Hadjar Dewantara - Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: MLPTS.

Dundar, Sefa, and Ulku Ayvaz. 2016. “From Cognitive to Educational Neuroscience.” International Education Studies 9(9): 50. http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ies/article/ view/56856.

Fatah, Ahmad. “Dimensi Keberhasilan Pendidikan Islam Program Tahfidz Al-Qur ’ an A . Pendahuluan Salah Satu Aspek Kehidupan Umat Muslim Di Indonesia Yang Benar-Benar Memerlukan Pemikiran Dan Usaha Terus-Menerus Untuk Memperbaikinya , Adalah Bidang Pendidikan . ( Ali , 1.” 9(2): 335–56.

Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Lp3es.

George S. Morrison. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta: Indeks.

Ismatul Khasanah. 2013. “Pembelajaran Logika Matematika Anak Usia Dini (Usia 4 5 Tahun) Di Tk Ikal Bulog Jakarta Timur.” Jurnal Penelitian PAUDIA, Volume 2 No. 1 Vol. 2., N.

Istiyani, Dwi. 2013. “Model Pembelajaran Membaca Menulis Menghitung.” Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan 10(1): 18.

Lubis, Maimun Aqsha et al. 2010. “Systematic Steps in Teaching and Learning Islamic Education in the Classroom.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 7(October 2014): 665–70.

Mustaqim, Yunus. “Pengembangan Konsepsi Kurikulum Dalam Pendidikan Islam A . Pendahuluan Dewasa Ini , Kurikulum Sudah Menjadi Disiplin Ilmu Tersendiri Dan Telah Berkembang Cukup Signifikan , Baik Secara Teoritis Maupun Praktis . Dahulu , Kurikulum Dinamakan Kurikulum Tradi.” 9(1): 1–24.

Nasional, Departeman Pendidikan. 2012. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa: Sinonim, Antonim, Hiponim, Dan Meronim. Bandung: Mizan.

 

No comments:

Post a Comment