korupsi sepertinya sudah menjalar dan semakin
subur di negara ini. apalagi kasus korupsi tersebut sangat sulit dibrantas oleh
para penegak hukum dan bisa dibilang hanya diabaikan tanpa adanya tindakan.
banyak yang bilang, korupsi merupakan budaya masyarakat indonesia karena begitu
mengakarnya praktek kotor tersebut. tetapi, budaya yang merupakan hal yang
dibentuk oleh masyarakat dan memiliki keindahan, karakteristik , dan menjadi
ikon bagi eksistensi bangsa tersebut tidak bisa disamakan dengan praktek
korupsi.
Korupsi yang secara harfiah merupakan,
kebusukan,
menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok tidaklah bisa disamakan dengan
pengertian budaya yang berwajah keindahaan. Hal lain yang membedakan korupsi
dengan budaya adalah korupsi tidaklah mengakar hingga ke masyarakat kecil
seperti para petani kecil, warga-warga di pegunungan terpencil, ataupun
nelayan-nelayan. Korupsi bisa dilihat seperti penyakit rawan yang menyerang para penguasa. Bagaikan,
seorang manusia yang bila kehujanan bisa saja terkena penyakit, katakanlah,
penyakit panas, influenza, dll. Jadi, korupsi yang merupakan penyakit, sangat
rawan menyerang para penguasa di negara ini maupun di negara-negara lainya. Hal
ini, membuat korupsi tidaklah bisa dikatakan
karakteristik alamiah bangsa ini.
Namun,
banyak masyarakat yang menyangka budaya korupsi merupakan hasil pendidikan
bangsa-bangsa kolonial selama 350 tahun menjajah Indonesia. Terlalu lamanya
bangsa kolonial menjajah indonesia disebut-sebut meninggalkan benih-benih korup
pada masyarakat indonesia. Sebut saja VOC yang merupakan salah satu perusahaan
dagang terbesar di dunia saat itu, tiba-tiba hancur karena korupsi. hal ini ditambah kehancuran kerajaan-kerajaan besar di Indonesia katakanlah,
kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram. Kerajaan besar itu hancur karena
tidak adanya penerus dan perang saudara, ditambah kelakuan para bangsawan
tersebut yang ingin memperkaya diri. Tetapi, kelakuan para bangsawan kerajaan
di Indonesia sebenarnya hampir sama dengan kelakuan para bangsawan di luar
negeri saat itu.
Pada zaman kerajaan Mesir kuno para pendeta memeras rakyatnya
dengan dalih untuk memberikan sesaji kepada Dewa. Pada
zaman Romawi, perilaku korupsi, hedonis dan pembunuhan politik tampak jadi hal
biasa. Bahkan, seseorang dengan mudah membunuh sahabat karibnya sendiri,
seperti dilakukan oleh Brutus terhadap Julius Caesar, demi mengejar kekuasaan
dan kehidupan yang hedonis. Dan hal yang sama, sebelumnya dilakukan oleh Julius
Caesar terhadap Antonius yang merupakan sahabatnya sendiri. Sedangkan pada zaman
kerajaan Prancis, Raja dengan seenaknya melakukan jual beli surat pengampunan
dosa dan masyarakat yang tidak mampu membayarnya akan dimasukan ke dalam
penjara. Hal ini yang membuat korupsi menjadi sangat angkrab dengan para
bangsawan di Nusantara maupun luar negeri.
Pada zaman itu, kekuasaan kerajaan
yang tidak terkendali layaknya di kerajaan Inggris bersama magna cartanya, membuat praktek-praktek korupsi oleh para
bangsawan tidak bisa dikendalikan oleh hukum. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan yang terjadi di kerajaan Inggris yang sudah membatasi kekuasaan kerajaan
dan membenihkan demokrasi (Magna Carta). Hal ini, baru dimulai dibeberapa
negara eropa setelah terjadinya revolusi, katakanlah, revolusi prancis, dan
revolusi bolshevik di Rusia. Tetapi, revolusi di Indonesia untuk merubah sistem
monarki (Kerajaan) tidak pernah terjadi karena terlanjur dijajah oleh bangsa
kolonial. Parahnya, sistem-sistem monarki masih berlaku dan dipelihara oleh
para kolonialisme. Hal ini membuat sifat-sifat para penguasa di Indonesia masih
tertanam benih-benih kerajaan yang sangat semena-mena terhadap rakyat, hanya
mementingkan keluarga (Nepotisme), dan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan kekuasaan. Nampaknya, hal ini yang menjangkiti para penguasa di Indonesia karena mereka tidak bisa melepas sifat-sifat kerajaan tempo dulu
sehingga korupsi menjadi hal lumrah dilakukan.
Banyak hal yang sudah dilakukan
pemerintah untuk menghilangkan praktek korupsi di negara ini. katakanlah,
membuat KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), pengawasan pajak yang ketat, dan
masih banyak lagi. Tetapi, praktek korupsi sepertinya tidaklah bisa dihilangkan, mungkin
hingga nabi Isa turun ke bumi. Karena, masih longgarnya sistem yang
memungkinkan para penguasa mengambil keuntungan apalagi sifat alamiah manusia
yaitu egois, kadang melunturkan nilai-nilai nurani. Hal ini tentu harus diatasi
selain memperketat peraturan hukum, dan memperberat hukuman bagi para koruptor.
Pemerintah seharusnya melakukan pencegahan agar praktek korupsi tidak semakin
mewabah di Indonesia.
Selama ini, pemerintah hanya melakukan tindakan setelah
para pelaku tersebut tertangkap, katakanlah kasus korupsi Gayus tambunan, yang
membuat pemerintah melakukan pengetatan peraturan pajak. Padahal permasalahan di
kantor perpajakan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sikap pemerintah ini
bisa kita analogikan, misalnya seseorang yang terkena penyakit, katakanlah,
penyakit maag, atau influenza, padahal datangnya penyakit tersebut bisa dicegah
dengan minum obat, misalnya, obat maag, atau obat flu. Banyak tindakan yang
bisa dilakukan pemerintah untuk meminimalisir tindakan korupsi, seperti,
memperbaiki tata cara pendidikan nasional, mengatur sistem pemerintahan tanpa
kolusi ataupun nepotisme, dan melakukan seminar-seminar anti korupsi di sekolah
dasar, menengah, ataupun atas, dan masih banyak lagi. Tentunya ini pekerjaan
yang tidak mudah, butuh kesabaran, dan juga ketegasan. Tetapi, pemerintah harus
melakukannya karena ibarat penyakit, bila tidak dicegah dan diobati akan terus
menjalar ke seluruh tubuh bahkan akan menular. Korupsi pun sama, jika tidak
dicegah dan dihukum akan terus menjangkiti para penguasa dan memberi dampak
menghancurkan sifat alamiah budaya Indonesia yang berwajah keindahaan.
No comments:
Post a Comment