Narasi Sejarah Islam : Antara Historiografi Kebajikan Atau Glorifikasi Tukang Dagang - Sang Pengejar Angin

Breaking

Tuesday, April 5, 2016

Narasi Sejarah Islam : Antara Historiografi Kebajikan Atau Glorifikasi Tukang Dagang


               
  •   Tulisan ini dibuat atas tugas Review untuk materi Urgensi Memahami Sejarah Peradaban Islam & Pengantar Metodologi Sejarah (oleh Dr Abdurahman) di Sekolah Sejarah & Peradaban Islam. Awalnya hanya berencana untuk menulis review namun karena beberapa hal, penulis merasa punya tanggung jawab untuk menjadikanya sebuah gagasan. Semoga bisa menjadi literasi yang menarik bagi para pecinta sejarah dan pemuda-pemuda islam khususnya.     
                       Segala yang berbau Islam kadang dipahami dalam kerangka berpikir yang sangat tidak pada tempatnya, terutama pada sejarah. Pada satu sisi, saya mengerti masih banyak penulisan tentang "sejarah islam" yang masih termarjinalkan dalam teks buku-buku pengetahuan, kerja-kerja orientalisme yang sering mengaburkan, dan ditambah masih minimnya sejarawan muslim. Namun, pada lain tempat saya berfikir bahwa respon kawan-kawan untuk melawan teks tersebut pun terkesan berlebihan. 

                     Salah satu topik yang baru-baru terjadi adalah prihal sejarah "sebenarnya" tentang perayaan April Mop (April Fools Days). Banyak kawan-kawan dikalangan muslim yang melarang kita untuk merayakanya, banyak yang tidak memperdulikan hal ini tapi lebih banyak juga yang menanggapinya dengan serius. Terutama karena kisah-kisah nukilan tentang sejarah April Mop yang dilemparkan oleh beberapa portal berita islam ataupun blog-blog pribadi, salah satunya seperti April Mop Pembantaian Muslim Spanyol. Sebagai salah satu sumber untuk melarang umat islam untuk merayakan kegiatan tersebut.

                     Beberapa portal berita dan kawan-kawan yang mengindentitaskan diri mereka sebagai muslim ini pun. Mencoba menjelaskan bahwa "barat" telah mengaburkan sejarah "kelam" umat islam ini dengan perayaan bernama April Mop yang dirayakan tiap tahunnya. Telaah sejarahnya pun terkesan sangat valid dengan diselingi data tanggal dan juga cerita yang sangat naratif (walau lebih melodrama). Hampir disemua portal berita dipaparkan bahwa kejadian kelam tersebut terjadi pada tanggal 1 April 1487 M atau 892 H. 

"Umat Islam sangat tidak pantas merayakan “April Mop” atau “The April Fool Day” karena kebiasaan itu dilatarbelakangi peringatan peristiwa pembantaian umat Islam di Spanyol pada 1 April 1487 Masehi.

“Umat Islam banyak yang “latah” dan merayakan April Mop tanpa mengetahui dasar dan asal muasal peristiwa tersebut, ” kata Cendikiawan Muslim Ir.H.Asmara Dharma dalam tulisannya yang dirilis, di Medan, kemarin.

Ia menjelaskan, perayaan April Mop itu diawali peristiwa penyerangan besar-besaran oleh tentara Salib terhadap negara Spanyol yang ketika itu di bawah kekuasaan kekhalifahan Islam pada Maret 1487 Masehi.

Kota-kota Islam di Spanyol seperti Zaragoza dan Leon di wilayah Utara, Vigo dan Forto di wilayah Timur, Valencia di wilayah Barat, Lisabon dan Cordoba di Selatan serta Madrid di pusat kota dan Granada sebagai kota pelabuhan berhasil dikuasai tentara Salib.

Umat Islam yang tersisa dari peperangan itu dijanjikan kebebasan jika meninggalkan Spanyol dengan kapal yang disiapkan di pelabuhan Granada. Tentara Salib itu berjanji keselamatan dan memperbolehkan umat Islam menaiki kapal jika mereka meninggalkan Spanyol dan persenjataan mereka.

Namun, ketika ribuan umat Islam sudah berkumpul di pelabuhan, kapal yang tadinya sandar di pelabuhan langsung dibakar dan kaum muslim dibantai dengan kejam sehingga air laut menjadi merah karena darah.

Peristiwa pembantaian dan pengingkaran janji tersebut terjadi pada 1 April 1487 Masehi dan dikenang sebagai “The April Fool Day.”

Selanjutnya, Dharma menjelaskan, peristiwa “The April Fool Day” itu dipopulerkan menjadi April Mop dengan “ritual” boleh mengerjai, menipu dan menjahili orang lain pada tanggal tersebut tetapi bernuansa gembira,"

                     Hampir semua portal berita dan blog pribadi tersebut membubuhkan kalimat tersebut dalam teks tulisanya. Saya mengira hampir semua berita yang mewacanakan April Mop Pembantaian Umat Islam Spanyol, pasti menulis dengan body teks seperti diatas (kalau tidak mau dibilang copy paste). Entah itu karena kemalasan dari sang penulis untuk meriset data sebenarnya? Atau kebiasaan "goreng isu" yang mewabah dikalangan masyarakat? Toh, sayangnya kebiasaan ini malah tidak akan menjadi proses pencerdasaan umat atau kesadaran akan pentingnya sejarah. Malah akan membuat umat "terhegemoni" oleh kata-kata "pentingnya sejarah", lalu menjadi taklid apalagi bila umatnya pun sama seperti penulis tadi, malas untuk mengkritisi.

                    Tapi mungkin ada beberapa kawan yang percaya dengan "fakta-fakta sejarah" diatas, kemudian menarasikannya dan menjadikanya sebuah wacana, tapi kita pun tahu bahwa sejarah sangat keras kepala, dia perlu bukti! Saya sendiri memang tidak bermaksud untuk menjadi pihak yang membantah "kemungkinan" adanya sejarah tersebut. Tapi kondisi ini pun saya pikir hampir-hampir sama dengan kawan-kawan yang mendukung sejarah tersebut, karena toh sumber sejarah yang mereka tuangkan sangat premature, apalagi bila tidak ada sumber yang valid akan cerita tersebut. Beberapa sumber sejarah yang sudah valid datanya pun menyebutkan bahwa Granada (sebagai kerajaan terakhir islam) baru jatuh ke tangan pasukan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, pada tanggal 2 Januari 1492 M, lalu kenapa disebutkan adanya pembantaian muslim Granada pada tahun 1487?

                   Kita pun bisa menjadi bertanya-tanya dengan pernyataan dari "cendikiawan muslim" tersebut, apalagi bila dihadirkan dengan kenyataan diatas lapangan saat itu (berbeda fakta dengan kenyataan). Karena buku-buku sejarah baik bersumber dari barat ataupun islam, sudah menyatakan bahwa penyerangan itu bukan dilakukan oleh tentara salib, tapi berasal dari dua kerajaan besar di semenanjung Iberia (walau beragama mayoritas Kristen). Bahkan Granada pun merupakan salah satu negara bawahan kerajaan Castile (salah satu kerajaan yang akhirnya menyerang Granada). Toh kita disini akan disesatkan pikir bahwa kerajaan Islam di Spanyol masih ada dan besar pada saat itu (Baca : Kekhalifahan). Padahal kenyataanya, peperangan saudara dan perebutan kekuasaan telah membuat kerajaan Islam terus menerus menjadi kecil (tha-ifah), hingga menyisakan hanya Granada sebagai kerajaan islam kecil (Sumber Lost Islamic History).


 (I)       Sekarang saya pun bekesempatan untuk bisa menimba ilmu di Sekolah Sejarah Dan Peradaaban Islam (SSPI) yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Saya pun sangat bersyukur bisa terlibat di sana karena selain bisa menimba ilmu (baca : sejarah islam), ini pun bisa menjadi wadah silaturahmi antar saudara sesama muslim. Lalu cukup menarik lagi karena materi untuk mengawali sekolah sejarah (yang insya allah sampai bulan Juni) adalah metodologi sejarah. Saya sendiri mendapat kesempatan untuk mengetahui tools untuk memahami sejarah, memandang sejarah, dan juga mengkritisinya. Saya pikir pemateri (Dr. Abdurahman) sudah sangat baik "mengawal" para peserta yang hampir mayoritas masih awam dengan sejarah.

              Pada materi itu saya pun mulai mengerti bahwa menjadi sejarawan (pecinta sejarah) tidak hanya dituntut untuk merekontruksi sejarah dari masa lalu ke masa kini. Tapi mereka pun harus dituntut untuk sangat dispilin, melihat fakta di satu sisi dan kenyataan di sisi lain. Membedakan antara jiwa zaman saat itu dengan jiwa zaman saat ini. Pada beberapa aspek saya pun menjadi teringat kata-kata Pramoedya, "Seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan." Tentulah pada saat ini sejarah sebagai multi disiplin harus disikapi secara adil baik para pemikir barat ataupun islam. Apalagi bila sebagai rahmatan lil alamin, Islam diturunkan untuk membawa kebenaran bagi umat manusia.

             Pada kondisi kontekstual yang sekarang menghinggapi umat islam, terutama dalam masalah sejarah. Kondisi ini ternyata juga sama terjadi dengan kondisi umat di era Ibnu Khaldun (1332-1406), hal ini pun tertuang dalam karya monumentalnya, Muqaddimah. Saat itu ilmu pengetahuan di dunia islam sedang jalan di tempat, sementara banyaknya intrik politik melemahkan rasa persatuan umat. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang kemunduran islam yang ditandai dengan kehancuran kerajaan Abbasyiah (1258 M) dan juga kerajaan Islam di Spanyol beberapa tahun setelahnya. Alhasil masyarakat islam saat itu pun mengalami krisis identitas, sementara tidak adanya lembaga pengetahuan seperti di era kejayaan, lama kelamaan membuat masyarakat islam menjadi taklid (buta) salah satunya kepada sejarah.

            Hal ini disampaikan dengan tegas oleh Ibnu Khaldun," Para sejarawan muslim terkemuka telah membicarakan peristiwa-peristiwa penting secara luas dan mendalam. Mereka mengumpulkan dalam berbagai buku dan menyimpannya dengan baik-baik. Namun, orang-orang yang tidak berhak mencampuri sejarah - disadari atau tidak - telah memasukan gosip, dan cerita-cerita palsu itu sebagai bumbu penyegar. Tindakan ini dilakukan oleh orang-orang sesudahnya, kemudian mereka menyebarkan informasi ini kepada kita sebagaimana mereka telah mendengarkanya, "jelasnya.

            Dirinya pun kembali menegaskan dalam paragraph selanjutnya,"Upaya untuk membetulkan sangat sedikit dilakukan oleh orang-orang, sedangkan mata kritik umumnya tidak tajam. Kekeliruan dan asumsi tidak berdasar merupakan bagian yang akrab dalam berita-berita sejarah. Taklid buta mengikuti tradisi merupakan sifat warisan bani Adam. Mencampuri disiplin ilmu yang bukan bidangnya terus berkembang luas," Ungkapnya. Bahkan sejarawan asal Tunis (sekarang Tunisia) ini pun menggagap kebatilan telah menutupi kebenaran,"Tak seorang pun mampu menegakan kembali otoritas kebenaran, dan setan kebatilan menang dari perenungan penjernihan, "tutupnya (Muqaddimah, hal 3-4).

            Disini saya pun mengingat beberapa pemaparan yang diberikan oleh Dr Abdurahman tentang metodologi sejarah. Ketua Departemen Sejarah FIB UI ini menegaskan bahwa sejarah bukan mitos, sejarah bukan juga filsafat, sejarah bukan ilmu alam bahkan sejarah bukan sastra. Dirinya pun menegaskan bahwa sejarah merupakan ilmu yang mempelajari manusia terutama kisah masa lampau dan juga rekontruksinya. Pada titik ini seorang sejarawan (pecinta sejarah) sangat dituntut untuk mencari hingga menemukan buktinya (Heuristik). Sehingga hal-hal tersebut bisa disebut fakta-fakta sejarah dan juga otentik (rill) bukan omong kosong.

           Selain itu kita pun dituntut untuk sangat ketat dalam pemilihan sumber-sumber sejarah yang akan diambil. Beberapa cara bisa kita ambil dalam pembuktian fakta sejarah, seperti sumber lisan, sumber tertulis, sumber benda. Teruntuk sumber lisan, bagi Dr Abdurahman hal ini memerlukan disiplin yang cukup tinggi. Karena bisa terdapat banyak perbedaan antara satu orang dengan orang lainnya, salah satunya yang terjadi pada peristiwa Rengasdengklok. Di mana banyak versi tulisan baik dari Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan juga Adam Malik. Tentulah di sini bisa dilihat konteks narasumber tersebut dengan peristiwa? latar belakang narasumber? hingga kedekatan statment narasumber itu dengan peristiwa.

(II)    Pada tanggal 29 Mei 1945, pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia, (BPUPKI), Mohammad Yamin memaparkan pandangannya tentang dasar kenegaraan. Pada saat itu Mohammad Yamin sudah terkenal sebagai seorang yang ultra nasionalis. Salah satunya glorifikasi tentang kisah-kisah kebesaran Majapahit yang menjadi gagasan nasionalismenya. Hal ini pun beberapa kali juga tersirat dari statement-statement Yamin, baik sebelum kemerdekaan ataupun setelahnya. Tapi kondisi ini tidak bisa diterima mentah-mentah oleh para founding father, bahkan mereka pun mengkritik gagasan Yamin. Terutama mulai dari gagasannya dan juga usulnya tentang batasan wilayah kesatuan Republik Indonesia.

           Perilaku glorifikasi atau dalam istilah umumnya melebih-lebihkan sesuatu hingga terkesan hebat, luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela, patutlah dihindari oleh kaum terpelajar terutama pecinta sejarah. Peristiwa-peristiwa dalam sejarah pun sudah membuktikan bagaimana sebuah glorifikasi, menjadi sebuah malapetaka : tragedi kemanusian. contohlah Nazi dengan glorifikasi ras Aryanya, kisah kaum kulit putih dengan kulit hitam, bahkan penjajahan di atas bumi Indonesia pun berasas kan hal tersebut. Bagi saya menjadi sebuah malapetaka besar bila umat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. Sebagai perlawanan kepada gagasan-gagasan glorifikasi jahiliyah malah merawat cara berfikir seperti itu.

           Hingga sekarang saya pun masih sangat yakin, kalau Islam cukup banyak mengajarkan kita untuk kritis atau mencari pemahaman tentang sebuah informasi. Salah satunya tertuang dalam surat Al-Isra, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabanya, (Al-Isra: 36). Sudah banyak juga ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajarkan kita untuk lebih mengandalkan akal dibandingkan dengan hawa nafsu. Hal ini menandakan bahwa Islam sudah punya cukup modal untuk melawan ketaklidan atas sebuah sejarah.
       
           Saya pikir salah satu semangat yang harus ditanamkan kepada pemuda-pemuda islam (termasuk saya pribadi) adalah budaya literasi. Membangun kerangka berfikir yang kritis terlepas perbedaan mahzab yang kita anut. Dengan itu kita mungkin akan kembali bisa membangun puing-puing kejayaan intelektual Islam. Karena kalau tidak begitu umat Islam akan tetap terjerumus terhadap glorifikasi layaknya karakter tukang dagang. Kemudian pada saatnya sejarah akan mulai ditinggalkan dan kebatilan menyelimuti dunia. Umat Islam akan tetap sesuai dengan hadist Rasulullah S.A.W, hidangan di meja makan. Wallahu Alam Bissawab


No comments:

Post a Comment