Jam 06.00 WIB tertanggal
1 Maret 1949, terjadi sebuah peristiwa yang menjadi epik sejarah bangsa ini dan
termasuk sub bab “Merdeka 100%”. Yogyakarta, menjadi saksi sejarah serangan
umum 1 maret yang digagas oleh salah satu putra bangsa, Soedirman. Semua
tentunya kenal Soedirman, Bapak tentara Republik Indonesia, salah satu Jenderal
yang memiliki 5 bintang TNI, tentulah gelar pahlawan bangsa atas jasa-jasa
beliau dengan aksi-aksi heroiknya. Tapi, siapakah Soedirman 5-10 tahun sebelum
peristiwa itu?
Konon, ada yang bilang bahwa Jendral
A.H.Nasution sebagai perwira terlatih meremehkan kemampuan strategi Soedirman. Hal
ini pantas muncul, karena selama hidupnya Soedirman lebih banyak berkutat pada
bidang mengajar bahkan puncaknya beliau menjabat sebagai Kepala Sekolah. Beliau
pun baru masuk PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) sekitar tahun 1944. Tentulah
menjadi menarik, begitu cepatnya Soedirman mendapatkan tapuk tertinggi TNI (2
tahun). Karena, pada 1945 Sudirman akhirnya terpilih menjadi pemimpin TKR
(cikal bakal TNI).
Soedirman bukanlah nama dengan
gelar, beliau hanya lahir dari keluarga sederhana di daerah Purbalingga, Jawa
Tengah. Nama “Raden-nya” ditutupi karena memang berasal dari pamanya yang
bertindak sebagai ayah angkatnya. Hidup sebagai anak desa yang sederhana lah
yang membuat Soedirman menjadi pemuda bangsa yang tangguh. Kecakapnya dalam
bekerja walau upahnya kecil lah yang membuat beliau dicintai oleh rakyatnya, Membangkitkan
kisah-kisah legenda tentang pemuda desa yang menggucang nusantara.
Kisa-kisah atau babad jawa pun penah
mengisahkan kejadian yang latar belakangnya hampir sama. Pramoedya Ananta Toer
dalam novelnya berjudul Arus Balik,
dengan bangga mengisahkan perjuangan Galeng yang berasal dari desa tapi mampu
menjadi Mahapatih kerajaan Tuban. Dalam novel itu Galeng yang kelak bernama
Wiragaleng, memiliki kecakapan, keuletan dan keberanian beriringan dengan
kesederhanaan hidup dibandingkan pemuda pada zamanya.
Menggunakan latar belakang runtuhnya
kerajaan Majapahit, mulai berkembangnya kerajaan Islam, dan datangnya Portugis
ke Nusantara. Membuat kehidupan Galeng tak ubahnya kehidupan Soedirman yang
berada dalam proses Penjajahan, Kemerdekaan, dan Invansi Sekutu. Kemampuan
Galeng membuat dirinya setahap demi setahap masuk dalam jajaran elit
ketentaraan kerajaan Tuban.
Walau sejarah Galeng ini belum tentu
asli, karena dibangun secara novel oleh Pramoedya. Tetapi karakter nya sebagai
anak desa yang mampu mendapatkan kepercayaan dalam posisi penting, bahkan
berhasil mengusir Portugis tentulah menjadi pelajaran sejarah yang amat sangat
penting. Layaknya Soedirman dan Galeng pemuda desa tanpa gelar mampu mencetak
sejarah bangsanya.
Dalam kisah-kisah Raja-Raja Jawa,
pernah mengisahkan salah satu tokoh penting permersatu Nusantara bernama Gajah
Mada. Tokoh yang selalu dipakai sebagai simbol kebesaran, pemersatu, kehebatan
Nusantara. Latar belakangnya sebagai anak desa pun selalu menjadi kisah
kontroversial beriringan dengan asal-usulnya yang masih misteri hingga saat
ini. Tapi kisahnya sebagai patih yang mengesankan dengan ketegasan dan
kecakapan membuat dirinya mampu masuk ke strata bangsawan saat itu.
Gajah Mada merupakan simbol dari
pahlawan tanpa gelar pada awalnya, atau From
Zero To Hero ala Indonesia. Sayang, kisahnya jarang diceritakan kepada para
pewaris bangsa yang kadang jauh lebih gandrung kepada pahlawan dengan title
atau pahlawan luar negeri. Tapi, peristiwa sejarah yang selalu berulang-ulang
ini walau dengan latar belakang yang berdeda, haruslah kita resapi.
Gajah
Mada pernah mengucapkan sumpah, “bahwa bila telah mengalahkan (menguasai)
Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun,
Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa. Apakah para pemimpin dan tokoh bangsa yang
kebanyakan “gelar” mau melakukan hal itu? Atau setidaknya membaca perjuangan
para pemuda desa sebagai bahan pelajaran?
Sejarah memang membutuhkan tokoh, latar belakang,
waktu/setting lokasi layaknya pertunjukan teater. Tapi sejarah bukanlah pesanan
dari penguasa tapi arus masyarakatlah yang membentuk atau menarik dirinya
sendiri. Itulah yang membuat para Zero berubah menjadi Hero pada akhirnya.
Karena itulah kepada para tokoh atau “calon” tokoh masa depan kenapa kalian memusingkan
gelar? Sejarah tidak (selalu) membutuhkan gelar.
No comments:
Post a Comment