Belum lama
berselang, saya pernah menonton sebuah film Brazil berjudul City Of God. Film ini menceritakan
seorang anak yang hidup dan tumbuh di kota dengan kondisi sosial yang rusak.
Sebuah film yang menceritakan bagaimana akhirnya dia harus melihat teman-teman
kecil nya mati di depannya? Dan bagaimana dia memilih jalan hidupnya sendiri?
Pengambilan lokasi yang mengambarkan realitas sosial di Brazil dengan gangsternya,
peredaran dan pemakaian narkotika, dan seks bebas. Sepertinya mengingatkan saya
dengan kehidupan di Indonesia pada masa-masa silam, bahkan hingga sekarang.
Kisahnya
tentang seorang anak yang harus tumbuh di lingkungan yang sangat buruk.
Semenjak kecil dia harus melihat kelakuan orang-orang tua yang sering melakukan
pembunuhan, dan memakai narkoba. Bahkan beberapa temannya akhirnya memilih atau
dipaksa untuk menjadi seorang pembunuh. Namun, akhirnya dia memilih untuk
menjadi seorang jurnalis dan menolak kebiasaan di lingkungannya. Tentulah dalam
film ini menimbulkan pertanyaan bagi kita semua, apa kehidupan ini merupakan
sebuah pilihan? Ataukah semuanya sudah diatur oleh alam?
Persoalan yang
dilontarkan pada kita di film ini adalah sebuah realitas sosial. Apalagi
sebagai anak muda yang sedang mencari jawaban “Siapakah saya?“ Sebagai seorang
anak muda yang lahir di lingkungan yang sering dipertontonkan kisah-kisah
tentang pemimpin yang korup, anak muda yang apatis dan hedonis, dan hilangnya
sikap gotong royong. Apakah generasi setelahnya pun hanya mewarisi sikap-sikap
seperti itu? Seperti yang terjadi di
film City Of God yang hanya mewarisi
kehidupan gangster, peredaran narkoba yang diwarisi pendahulunya.
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menanyakan pada diri kita sendiri
“Siapakah saya?” dan jawaban kita menentukan pilihan itu sendiri. Sang anak
tadi pun harus menjawab pertanyaan besar tersebut. Jika dia memilih untuk hidup
seperti lingkungannya, menjadi seorang gangster, dan pengedar narkoba. Tentulah
dia tidak akan dipencundangi oleh teman-temannya. Dia pun pastinya akan menjadi
kaya, ataupun punya banyak wanita dan pastinya dia tidak akan dipersalahkan karena
lingkungannya pun seperti itu. Tetapi pilihannya untuk keluar dari kebiasaan
dan memutuskan menjadi seorang fotografer lah yang menentukan “Siapakah
dirinya.” Karena, pilihanya tersebut bisa saja membuat dia dibunuh oleh
teman-temannya.
Seperti yang
banyak terjadi di negara ini, di mana setiap hari lahir para orang-orang korup
baru. Padahal orang-orang itu pastinya telah diajarkan tentang prinsip
kejujuran sejak kecil. Namun, prinsip itu sepertinya telah hilang, saat mereka
mengetahui lingkunganya pun korup. Karena hal yang sudah biasa dilakukan,
pastinya tidak menimbulkan rasa berdosa apalagi lingkungannya pun
mendukung. Jadi apakah kehidupan ini
merupakan sebuah pilihan? Ataukah kita hanya mewarisi kebiasaan dari
orang-orang tua.
Anak muda
sekarang pun amat mudah merasionalisasikan keadaan. Kemalasaan mereka
dirasionalisasikan sebagai sikap apatisme
ataupun slogan-slogan golongan dirasionalisasikan sebagai gerakan revolusi.
Kadang-kadang kita selalu bertanya apa yang sebenarnya kita lakukan selama ini?
kritikan kita tidak merubah keadaan, malah menambah musuh saja? Ataukah kita
adalah orang yang ingin mengkritisi segala sesuatu walaupun pengetahuan dan
pengalaman kita terbatas? Hal inilah yang akhirnya menimbulkan rasa kemalasan
ataupun dengan julukan gaulnya “apatisme”
yang sering menjangkiti beberapa teman kita.
Pertanyaan itu
pun sering datang kepada saya. Namun saya selalu berkata pada diri saya
sendiri. Bahwa saya adalah seorang mahasiswa, sebagai seorang yang masih harus
belajar dan mengejar cita-cita. Karena itu saya akan berani untuk berterus
terang, walaupun ada kemungkinan saya salah. Lebih baik bertindak keliru
daripada tidak bertindak karena takut salah. Karena kebenaran bukanlah dalam
bentuk instruksi dari siapa pun, tetapi harus dihayati secara kreatif sebagai
manusia yang selalu berpikir.
Hal yang lebih
lucu lagi adalah saya sering bertemu dengan teman-teman, baik dari kampus ini
maupun kampus lain. Disaat kami melakukan perjuangan dalam tulisan ataupun
pergerakan, saya pun sering bertanya “Kenapa kalian melakukan semua ini?”
seorang dari mereka pun menjawab “saya melakukan semua ini, karena merupakan
perintah dari ormas dan bergeraknya saya merupakan perintah dari pimpinan, dan
bagi saya itu adalah kebenaran.” Hal ini lah yang meracuni penerus-penerus
bangsa, kebenaran mereka hanya dibatasi oleh perkataan Ormas inilah, golongan
inilah, atau ideologi inilah. Sebuah hal yang menjadikan bangsa ini selalu
berada dalam kotak-kotak yang saling membenarkan satu sama lain.
Padahal
sebagai anak muda apalagi mahasiswa, kita haruslah mempunyai prinsip dan sebuah
indepedensi. Kita harus berkata itu benar karena memang itu benar, bukan karena
slogan ormas, hasutan dari tokoh-tokoh, ataupun kepentingan ideologi. Sebagai
seorang mahasiswa seharusnya kita memilih apakah nantinya terpaksa menjadi
seperti kata-kata pimpinan ormas pilihan kita? Ataukah menjadi seorang
mahasiswa yang sesuai wujud sebenarnya? Pilihan inilah yang bebas dipilih oleh
manusia. Namun, seperti cerita film tersebut
apakah teman-teman mau tetap hidup dalam kebiasaan seperti itu? Ataukah
memilih jalan lain.
No comments:
Post a Comment